Nur Isiyana Wianti*), Arya Hadi Dharmawan, Rilus A. Kinseng, Winati Wigna
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB
*) Email : wiantini@gmail.com
Diterima 6 Januari 2012 / Disetujui 2 April 2012
Diterima 6 Januari 2012 / Disetujui 2 April 2012
ASTRACT
Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo.
Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan
berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan
Bajo yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi. Kenyataan ini jauh berbeda
Mantigola. Perubahan masyarakat Bajo kearah kapitalisme ditengarai oleh peran dari pertukaran ekonomi,
dan penetrasi nilai-nilai yang dibawa oleh An Tje. Perubahan orientasi ekonomi ke arah kapitalisme juga
disebabkan oleh peran besar dari orang Mandati yang adalah para kapitalis, yang memberikan iklim yang
kondusif dalam berusaha. Sebaliknya, Bagi Bajo Mantigola, kemandekan ekonomi disebabkan adaptasi
terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh orang Kaledupa, pembatasan terhadap ruang nafkah oleh taman
nasional, pelarangan untuk menangkap di perairan Australia, dan ketergantungan dari orang-orang Mola.
Kemudian, agama juga menjadi faktor pendorong terjadinya kapitalisme di Mola. Kapitalisme lokal suku
Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis
lokal tidak seperti etika yang dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat
individualisme. Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah
munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara teori Marx digunakan untuk memahami bentuk
eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola terhadap saudaranya, namun bukan seperti eksploitasi
yang sangat serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu
yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo
Latar Belakang
Masyarakat senantiasa berubah di semua tingkat
kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi
perubahan ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso
terjadi perubahan kelompok, komunitas, dan organisasi.
Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan perilaku
individual. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh,
bekas, dan jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk
masa depan. Sifat berprosesnya masyarakat secara tersirat
berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab akibat
dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab
akibat yang menetukan fase berikutnya (Sztompka, 2005).
Transformasi ekonomi pedesaan tidak terkecuali juga
dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Fenomena
sosial ini sekaligus membuktikan bahwa masyarakat lokal
mampu melakukan mobilitas sosial melalui ekspansi
usaha ke arah cara produksi kapitalisme. Dahulu suku
Bajo masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang
dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah,
penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan
pangan diri dan keluarganya (Zacot, 2002). Seiring
dengan dimulainya relokasi masyarakat Bajo ke daratan,
rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan sosial,
ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat
Bajo masih hidup berpindah-pindah dengan leppa, mereka
tidak mengenal ekonomi uang, aktifitas sehari-hari
hanyalah memancing, dan menangkap ikan pada suatu
tempat selama sebulan kemudian pergi ke tempat lain.
perdagangan hanya dilakukan dengan sistem barter.
Untuk persediaan sehari-hari mereka, kelompok
pengembara ini berbuat sebagai berikut : sebuah
kelompok kecil pergi ke pantai pada hari-hari pasar,
apakah itu pasar terapung atau pasar di darat. Mereka
menukar ikan-ikan tangkapan mereka dengan kebutuhan
lain atau peralatan yang mereka butuhkan. Namun,
setelah proses relokasi, sendi-sendi kehidupan masyarakat
Bajo mulai berubah sejalan dengan menetapnya
masyarakat Bajo di pinggir pantai dengan membuat
rumah-rumah terapung. Masyarakat Bajo mulai mengenal
ekonomi uang (artinya mulai mengenal kemiskinan) dan
pasar, generasi muda Bajo mulai diperkenalkan dengan
sekolah formal, serta mau tidak mau harus mengakui dan
takluk terhadap legitimasi pemerintah sebagai suatu
suprasistem kehidupan mereka.
Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Transformasi yang terjadi di dalam proses produksi
Transformasi yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Transformasi yang terjadi di dalam proses produksi
diarahkan untuk menghasilkan surplus. Mola adalah
gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah
mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi
(Harian Kompas, Senin 28 Juni 2010). Komunitas Bajo
Mola menggeliat, perkembangan ekonomi berkembang
dengan pesat, ini ditandai dengan skala usaha yang
condong kearah kapitalisme. Penggunaan alat tangkap
yang modern, terjadi akumulasi modal untuk ekspansi
usaha, menggunakan sistem upah tenaga kerja, yang
dahulu hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga.
Kenyataan ini jauh berbeda dengan kampung-kampung
Bajo lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain
kampung Bajo Lamanggau, La Hoa, Sama Bahari
maupun Mantigola. Para nelayan Bajo Mola telah banyak
menjadi pengumpul besar, dan menguasai jalur
perdagangan ekspor kerapu hidup ke Hongkong melalui
Bali. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di atas memang
mengesankan, namun kemajuan yang dicapai juga
menimbulkan konsekuensi tersendiri yakni
ketidakmerataan ekonomi, antara lain pola distribusi
keuntungan yang timpang.
Selanjutnya, saat ini nelayan Bajo khususnya Mola tidak menjadikan laut sebagai satu-satunya sumberdaya yang digunakan untuk mencari nafkah. Nelayan Mola tidak lagi berorientasi pada upaya untuk bertahan hidup (survival) melainkan juga untuk memperbaiki status kehidupan mereka (consolidating strategy). Nafkah tidak lagi hanya diarahkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan (necessity) melainkan juga sebagai suatu pilihan-pilihan rasional (rational choices). Strategi nafkah yang dilakukan nelayan Bajo Mola antara lain dengan melakukan diversifikasi nafkah di luar kegiatan menangkap ikan, dan melakukan migrasi ke pulau-pulau lainnya, hingga ke luar negeri. Kegiatan menangkap ikan tidak hanya dilakukan disekitar perairan Wakatobi saja melainkan juga melakukan penangkapan di laut Arafura, dan menangkap hiu di Pepela NTT. Diversifikasi nafkah selain menangkap ikan antara lain membuat perahu Lambo yang kemudian dipasarkan ke Pepela, budidaya ikan di dalam keramba, membuka usaha toko kelontongan, membuka usaha jasa penginapan kelas melati. Selanjutnya, merantau juga dilakukan oleh lelaki Bajo Mola, dengan daerah yang menjadi tujuan migrasi adalah Tawao Malaysia. Biasanya mereka bekerja sebagai ABK pada kapal-kapal ikan, status mereka adalah tenaga kerja ilegal, lama waktu perantauan kira-kira antara dua sampai tiga tahun. Merantau bagi beberapa nelayan Bajo Mola adalah upaya yang harus dilakukan ketika lahan nafkah di sektor perikanan sudah tidak menjanjikan lagi, dan merupakan sarana untuk mengumpulkan modal untuk usaha. Bagi beberapa pengusaha perintis, awal usaha dimulai ketika bekerja dengan pengusaha Cina yang datang ke Mola. Setelah merasa paham dan mampu menyediakan sedikit modal untuk mandiri, kemudian membuka usaha hasil-hasil laut. Yang kemudian menjadi khas dalam membahas kapitalisme yang terjadi di komunitas suku Bajo adalah bahwa perempuan Mola adalah para usahawan.
Sebaliknya, komunitas Bajo Mantigola yang adalah daerah asal Bajo Mola, cenderung persisten terhadap perubahan. Perputaran roda ekonomi cenderung lebih lambat tetap mempertahankan pola usaha perikanan yang
Selanjutnya, saat ini nelayan Bajo khususnya Mola tidak menjadikan laut sebagai satu-satunya sumberdaya yang digunakan untuk mencari nafkah. Nelayan Mola tidak lagi berorientasi pada upaya untuk bertahan hidup (survival) melainkan juga untuk memperbaiki status kehidupan mereka (consolidating strategy). Nafkah tidak lagi hanya diarahkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan (necessity) melainkan juga sebagai suatu pilihan-pilihan rasional (rational choices). Strategi nafkah yang dilakukan nelayan Bajo Mola antara lain dengan melakukan diversifikasi nafkah di luar kegiatan menangkap ikan, dan melakukan migrasi ke pulau-pulau lainnya, hingga ke luar negeri. Kegiatan menangkap ikan tidak hanya dilakukan disekitar perairan Wakatobi saja melainkan juga melakukan penangkapan di laut Arafura, dan menangkap hiu di Pepela NTT. Diversifikasi nafkah selain menangkap ikan antara lain membuat perahu Lambo yang kemudian dipasarkan ke Pepela, budidaya ikan di dalam keramba, membuka usaha toko kelontongan, membuka usaha jasa penginapan kelas melati. Selanjutnya, merantau juga dilakukan oleh lelaki Bajo Mola, dengan daerah yang menjadi tujuan migrasi adalah Tawao Malaysia. Biasanya mereka bekerja sebagai ABK pada kapal-kapal ikan, status mereka adalah tenaga kerja ilegal, lama waktu perantauan kira-kira antara dua sampai tiga tahun. Merantau bagi beberapa nelayan Bajo Mola adalah upaya yang harus dilakukan ketika lahan nafkah di sektor perikanan sudah tidak menjanjikan lagi, dan merupakan sarana untuk mengumpulkan modal untuk usaha. Bagi beberapa pengusaha perintis, awal usaha dimulai ketika bekerja dengan pengusaha Cina yang datang ke Mola. Setelah merasa paham dan mampu menyediakan sedikit modal untuk mandiri, kemudian membuka usaha hasil-hasil laut. Yang kemudian menjadi khas dalam membahas kapitalisme yang terjadi di komunitas suku Bajo adalah bahwa perempuan Mola adalah para usahawan.
Sebaliknya, komunitas Bajo Mantigola yang adalah daerah asal Bajo Mola, cenderung persisten terhadap perubahan. Perputaran roda ekonomi cenderung lebih lambat tetap mempertahankan pola usaha perikanan yang
tradisional. Kemudian nelayan Mantigola masih
menggunakan cara-cara tradisional, jenis alat tangkap
tradisional antara lain didominasi oleh alat tangkap panah,
jaring, pancing, dan bubu. Daya jelajah nelayan Bajo
Mantigola juga tidak terlalu jauh, wilayah penangkapan
hanya sejauh wilayah karang Kaledupa. Kemandekan
ekonomi yang terjadi di Mantigola disebabkan oleh “hal-
hal” yang lebih kontekstual struktural, dan pada akhirnya
memberikan dampak sistemik bagi perekonomian Bajo
Mantigola
Penetrasi kultur kapitalisme melalui pertukaran ekonomi ini selain merubah kultur masyarakat Bajo, juga menciptakan perubahan struktural. Orientasi produksi nelayan Bajo Mola kini berubah sepenuhnya dari hanya bertujuan untuk subsistensi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam rangka memperoleh keuntungan. Nelayan Mola saat ini tidak saja mencari nafkah dengan cara menangkap ikan melainkan juga melakukan diversifikasi usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor non perikanan. Kapitalisme Bajo Mola semakin menggeliat juga didukung oleh masuknya teknologi penangkapan ikan, seperti purse seine, dan teknologi pengolahan hasil perikanan seperti meloing untuk komoditas tuna. Beberapa wirausaha Bajo Mola memiliki jenis kapal purse seine, kapal motor berbobot 30 GT1, dan keramba apung tempat penampungan ikan-ikan kerapu hidup. Pentingnya peran kapital bagi Bajo Mola telah merubah hubungan-hubungan sosial produksi dan terjadi peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Misalnya saja di dalam sistem perniagaan ikan kerapu hidup yang dikelola nelayan Bajo Mola yang berskala ekspor dengan jaringan perdagangan yang luas ke Bali hingga ke Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan selain anggota keluarga.
Namun, dari perubahan dramatis yang nampak dari gejala-gejala kapitalisme pada masyarakat Bajo, rupanya masih terdapat ruang-ruang bagi nilai-nilai lokal yang menyebabkan kapitalisme masyarakat Bajo dimaknai sebagai satuan sosial yang unik. Menurut Peribadi (2001) dalam memenuhi berbagai jenis kebutuhannya, etnis Bajo berpijak pada suatu etos dan pandangan hidup yang terkandung dalam falsafah “tellu temmaliseng dua temmaserrang”. Etos tersebut lah yang mempermasalahkan baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetik), benar dan salah (logis), serta pandangan hidup yang terintegral dengan alam sekitarnya. Yang pada akhirnya orientasi nilai tersebut mempengaruhi pilihan- pilihan nafkah, basis etika nilai dan moralitas dalam ekspansi usaha, bentuk pola akusisi kapital, bentuk jejaring bisnis, dan bentuk-bentuk tindakan bisnis yang dilakukan oleh aktor kapitalis lokal Bajo. Selain itu masih kuatnya istilah sama yang menunjukkan inklusifitas kelompok masyarakat Bajo terhadap orang-orang di luar komunitas Bajo atau dikenal dalam peristilahan Bajo sebagai bagai atau orang-orang darat. Pemisahan antara sama dan bagai ini erat kaitannya dalam mekanisme perekrutan tenaga kerja upahan. Masyarakat Bajo lebih memilih orang sama sebagai buruh upahan dan pertimbangan bahwa tenaga kerja terkait erat pada ikatan kekerabatan. Kemudian, hubungan kekerabatan bagi
1 Gross Tonage (ukuran besarnya perahu atau kapal)
Penetrasi kultur kapitalisme melalui pertukaran ekonomi ini selain merubah kultur masyarakat Bajo, juga menciptakan perubahan struktural. Orientasi produksi nelayan Bajo Mola kini berubah sepenuhnya dari hanya bertujuan untuk subsistensi kepada tujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam rangka memperoleh keuntungan. Nelayan Mola saat ini tidak saja mencari nafkah dengan cara menangkap ikan melainkan juga melakukan diversifikasi usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor non perikanan. Kapitalisme Bajo Mola semakin menggeliat juga didukung oleh masuknya teknologi penangkapan ikan, seperti purse seine, dan teknologi pengolahan hasil perikanan seperti meloing untuk komoditas tuna. Beberapa wirausaha Bajo Mola memiliki jenis kapal purse seine, kapal motor berbobot 30 GT1, dan keramba apung tempat penampungan ikan-ikan kerapu hidup. Pentingnya peran kapital bagi Bajo Mola telah merubah hubungan-hubungan sosial produksi dan terjadi peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Misalnya saja di dalam sistem perniagaan ikan kerapu hidup yang dikelola nelayan Bajo Mola yang berskala ekspor dengan jaringan perdagangan yang luas ke Bali hingga ke Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan selain anggota keluarga.
Namun, dari perubahan dramatis yang nampak dari gejala-gejala kapitalisme pada masyarakat Bajo, rupanya masih terdapat ruang-ruang bagi nilai-nilai lokal yang menyebabkan kapitalisme masyarakat Bajo dimaknai sebagai satuan sosial yang unik. Menurut Peribadi (2001) dalam memenuhi berbagai jenis kebutuhannya, etnis Bajo berpijak pada suatu etos dan pandangan hidup yang terkandung dalam falsafah “tellu temmaliseng dua temmaserrang”. Etos tersebut lah yang mempermasalahkan baik dan buruk (etika), indah dan jelek (estetik), benar dan salah (logis), serta pandangan hidup yang terintegral dengan alam sekitarnya. Yang pada akhirnya orientasi nilai tersebut mempengaruhi pilihan- pilihan nafkah, basis etika nilai dan moralitas dalam ekspansi usaha, bentuk pola akusisi kapital, bentuk jejaring bisnis, dan bentuk-bentuk tindakan bisnis yang dilakukan oleh aktor kapitalis lokal Bajo. Selain itu masih kuatnya istilah sama yang menunjukkan inklusifitas kelompok masyarakat Bajo terhadap orang-orang di luar komunitas Bajo atau dikenal dalam peristilahan Bajo sebagai bagai atau orang-orang darat. Pemisahan antara sama dan bagai ini erat kaitannya dalam mekanisme perekrutan tenaga kerja upahan. Masyarakat Bajo lebih memilih orang sama sebagai buruh upahan dan pertimbangan bahwa tenaga kerja terkait erat pada ikatan kekerabatan. Kemudian, hubungan kekerabatan bagi
1 Gross Tonage (ukuran besarnya perahu atau kapal)
Maka berdasarkan pada fenomena unik tersebut, tulisan
ini akan menunjukkan bagaimana proses perubahan
orientasi ekonomi masyarakat Bajo dalam konteks lokal.
Perubahan ini merupakan tanda bahwa menggeliatnya
ekonomi lokal orang-orang Bajo Mola dan Bajo
Mantigola yang tetap melakukan pola-pola perikanan
tradisonal, menunjukkan bahwa “spirit of capitalism” di
setiap suku Bajo memiliki derajat perbedaan dalam hal
perkembangannya. Untuk memahami mengapa terjadi
perbedaan tersebut maka : pertama, tulisan ini akan
mengkaji secara historis perubahan kultur masyarakat
Bajo yang tradisional dan prakapitalis dengan menjawab
bagaimana kultur kapitalisme mampu merembes ke dalam
nilai-nilai masyarakat Bajo Mola melalui saluran
(trajectory) tertentu. Dengan menggunakan analisa
mengenai pemaknaan masyarakat Bajo Mola maupun
Mantigola mengenai lima masalah dasar di dalam
kehidupan manusia, antara lain mengenai hakekat dari
hidup, hakekat dari karya manusia, hakekat ruang dan
waktu, hakekat dengan alam sekitar, dan hubungan
manusia dengan sesamanya. Analisa perubahan nilai
masyarakat Bajo kepada kultur kapitalisme juga
menekankan pada pentingnya analisa perubahan
rasionalitas nelayan Bajo Mola dengan berpijak pada teori
rasionalitas Weber, bahwa di masyarakat Bajo terdapat
perbedaan dalam hal perkembangan rasionalitas, yang
kemudian juga menggambarkan perbedaan orientasi
perkembangan spirit of capitalism di masyarakat Bajo.
Kemudian, tulisan ini juga akan mencoba memahami bagaimana perubahan budaya sebagai hasil adaptasi dan akulturasi masyarakat Bajo Mola di Pulau Wanci. Hasil adaptasi tersebut memunculkan suatu kultur kapitalisme khas lokal. Lokal di dalam tulisan ini tidak merujuk pada bentuk-bentuk kapitalisme murni masyarakat Barat yang berangkat dari masyarakat industri, melainkan berangkat dari masyarakat pesisir yang terkait oleh kultur lokal, yang sifat sumberdayanya yang open access, serta mekanisme berburu dan meramu (food and gathering) yang merupakan cara untuk memperoleh sumberdaya.
Untuk memahami fenomena sosial tersebut, dilakukan suatu pendalaman atas fenomena tersebut secara empiric atas proses berkembangnya kapitalisme khas local di komunitas adat suku Bajo di suatu kawasan Taman Nasional Wakatobi. Studi yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Realitas sosial di dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental individu, dan pengalaman yang sifatnya spesifik dari lima belas kasus
Kemudian, tulisan ini juga akan mencoba memahami bagaimana perubahan budaya sebagai hasil adaptasi dan akulturasi masyarakat Bajo Mola di Pulau Wanci. Hasil adaptasi tersebut memunculkan suatu kultur kapitalisme khas lokal. Lokal di dalam tulisan ini tidak merujuk pada bentuk-bentuk kapitalisme murni masyarakat Barat yang berangkat dari masyarakat industri, melainkan berangkat dari masyarakat pesisir yang terkait oleh kultur lokal, yang sifat sumberdayanya yang open access, serta mekanisme berburu dan meramu (food and gathering) yang merupakan cara untuk memperoleh sumberdaya.
Untuk memahami fenomena sosial tersebut, dilakukan suatu pendalaman atas fenomena tersebut secara empiric atas proses berkembangnya kapitalisme khas local di komunitas adat suku Bajo di suatu kawasan Taman Nasional Wakatobi. Studi yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Realitas sosial di dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental individu, dan pengalaman yang sifatnya spesifik dari lima belas kasus
rumah tangga aktor kapitalis lokal Bajo, khusus untuk
memahami proses perkembangan dan dinamika
kapitalisme yang terjadi di dua lokasi baik di Mola
maupun di Mantigola. Wawancara mendalam pada
berbagai aktor kapitalis local Bajo sebagai informan kunci
dilakukan untuk memahami dan menganalisis proses
terbentuknya aktor-aktor kapitalis lokal, dan untuk
menjawab perbedaan orientasi transformasi masyarakat
suku Bajo Mola dan Bajo Mantigola.
Sejarah Terbentuknya Aktor kapitalis Lokal di Bajo Mola dan Bajo Mantigola
Awal perkembangan orang-orang Mola sebagai usahawan ditengarai awalnya disebabkan oleh peran orang-orang Wanci Mandati. Melalui pertukaran ekonomi, penetrasi nilai-nilai kapitalisme merasuk kedalam masyarakat Mola. Semangat untuk berbisnis juga muncul ketika beberapa nelayan Bajo melihat menggeliatnya usaha dagang yang dilakukan oleh orang-orang darat, yakni orang Wanci Mandati. Sebagai manusia yang kongkrit, merembesnya nilai-nilai kapitalisme bagi orang-orang Bajo oleh orang Mandati membawa mereka ke dalam dunia tertentu, dunia yang penuh dengan persaingan, spekulasi, dan manipulasi, sekaligus juga menemukan beragam dukungan sosial dalam mengembangkan bisnisnya, dan pada akhirnya pengembangan identitas dan nilai-nilai khusus mereka. Nilai-nilai kebendaan yang ditawarkan oleh orang-orang Mandati melalui barang- barang dagangannya yang ditawarkan kepada orang-orang Bajo, misalnya piring dan gelas dengan merek-merek mahal dan impor yang dibawa oleh orang-orang Wanci Mandati sepunlangnya dari merantau dari Singapura dan Tawau, amat diminati oleh perempuan-perempuan Bajo yang kaya. Artinya konsumsi orang-orang Bajo menyediakan ruang-ruang surplus bagi orang-orang Mandati.
Motivasi yang besar dari beberapa nelayan Bajo Mola, dan kemampuan dan pengetahuan pengelolaan keuangan yang cenderung jarang dimiliki oleh orang-orang Bajo pada umumnya cenderung “boros”, yang diistilahkan oleh orang-orang kaya Bajo sebagai “bakat” (manajerial talent) akhirnya mengantarkan mereka pada keberhasilan usaha. Kemudian, strategisnya wilayah Wangi-wangi untuk kegiatan perdagangan juga merupakan faktor pemicu perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Bajo yang baru menetap di Wangi-wangi. Setelah mendarat di Wanci, banyak masyarakat Bajo yang kawin- mawin dengan orang Wanci, ini juga merupakan pemicu perubahan sosial di Bajo, karena kultur masyarakat Wanci yang jago berniaga terserap di Bajo Mola secara perlahan- lahan melalui saluran perkawinan tersebut.
Masyarakat Wanci sendiri menganggap masyarakat Bajo sebagai konsumen potensial untuk mengembangkan usahanya. Sifat masyarakat Bajo yang konsumtif digunakan oleh masyarakat Mandati sebagai kesempatan untuk mengembangkan pasar. Dahulu, masyarakat Mandati menjual barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, ubi kayu, kemudian peralatan memasak, misalnya tempayan air (busu-busu), dan jajanan pasar, seperti kue- kue kecil.
Sejarah Terbentuknya Aktor kapitalis Lokal di Bajo Mola dan Bajo Mantigola
Awal perkembangan orang-orang Mola sebagai usahawan ditengarai awalnya disebabkan oleh peran orang-orang Wanci Mandati. Melalui pertukaran ekonomi, penetrasi nilai-nilai kapitalisme merasuk kedalam masyarakat Mola. Semangat untuk berbisnis juga muncul ketika beberapa nelayan Bajo melihat menggeliatnya usaha dagang yang dilakukan oleh orang-orang darat, yakni orang Wanci Mandati. Sebagai manusia yang kongkrit, merembesnya nilai-nilai kapitalisme bagi orang-orang Bajo oleh orang Mandati membawa mereka ke dalam dunia tertentu, dunia yang penuh dengan persaingan, spekulasi, dan manipulasi, sekaligus juga menemukan beragam dukungan sosial dalam mengembangkan bisnisnya, dan pada akhirnya pengembangan identitas dan nilai-nilai khusus mereka. Nilai-nilai kebendaan yang ditawarkan oleh orang-orang Mandati melalui barang- barang dagangannya yang ditawarkan kepada orang-orang Bajo, misalnya piring dan gelas dengan merek-merek mahal dan impor yang dibawa oleh orang-orang Wanci Mandati sepunlangnya dari merantau dari Singapura dan Tawau, amat diminati oleh perempuan-perempuan Bajo yang kaya. Artinya konsumsi orang-orang Bajo menyediakan ruang-ruang surplus bagi orang-orang Mandati.
Motivasi yang besar dari beberapa nelayan Bajo Mola, dan kemampuan dan pengetahuan pengelolaan keuangan yang cenderung jarang dimiliki oleh orang-orang Bajo pada umumnya cenderung “boros”, yang diistilahkan oleh orang-orang kaya Bajo sebagai “bakat” (manajerial talent) akhirnya mengantarkan mereka pada keberhasilan usaha. Kemudian, strategisnya wilayah Wangi-wangi untuk kegiatan perdagangan juga merupakan faktor pemicu perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Bajo yang baru menetap di Wangi-wangi. Setelah mendarat di Wanci, banyak masyarakat Bajo yang kawin- mawin dengan orang Wanci, ini juga merupakan pemicu perubahan sosial di Bajo, karena kultur masyarakat Wanci yang jago berniaga terserap di Bajo Mola secara perlahan- lahan melalui saluran perkawinan tersebut.
Masyarakat Wanci sendiri menganggap masyarakat Bajo sebagai konsumen potensial untuk mengembangkan usahanya. Sifat masyarakat Bajo yang konsumtif digunakan oleh masyarakat Mandati sebagai kesempatan untuk mengembangkan pasar. Dahulu, masyarakat Mandati menjual barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, ubi kayu, kemudian peralatan memasak, misalnya tempayan air (busu-busu), dan jajanan pasar, seperti kue- kue kecil.
Keberhasilan orang-orang Mandati tidak terlepas dari
peran orang-orang Bajo, karena diawal mula usaha
berdagang di Pulau Buru, Jawa, Kalimantan, Sumatera,
bahkan hingga ke Singapura, peran Bajo sebagai pemasok
barang-barang dagangan orang-orang Mandati, antara lain
sirip ikan hiu, teripang, lola, dan sebagainya berasal dari
nelayan Bajo di Mola. Selain itu juga, sebelum memiliki
kapal sendiri untuk berlayar, orang-orang Mandati juga
meminjam kapal orang-orang Bajo Mola untuk berangkat
membawa barang dagangan ke Pulau Buru, ke Pulau
Jawa, hingga ke Singapura.
Selanjutnya, selain hasil adaptasi dengan golongan pedagang Wanci Mandati yang membentuk “spirit berniaga”, munculnya para kapitalis lokal Bajo tidak bisa dipungkiri terbentuk karena pengaruh ketokohan seorang pengusaha Cina bernama An Tje. Sebelum datangnya seorang perantau dan sekaligus pengusaha dari Cina yang bernama An Tje, masyarakat Mola masih mempertahankan pola hidup tradisional. Dimana pola nafkah utama masyarakat Bajo adalah hanya menggantungkan pada kegiatan penangkapan ikan. An Tje datang disaat orang-orang Bajo gemar menangkap dan memperdagangkan penyu. Tertarik dengan kekayaan hasil laut yang sangat melimpah antara lain teripang, penyu hijau, tuna, napoleon, dan kerapu macan, An Tje kemudian membeli beberapa komoditas untuk dijadikan contoh barang kepada “bos” di Makassar. Setelah sekembalinya dari perjalanan menuju singapura, dan singgah ke Makassar, An Tje kemudian membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut di Mola dengan tenaga upahan yang adalah orang-orang Bajo Mola. Tenaga upahan ini juga merupakan nelayan pengumpul yang dibina menjadi pengusaha. An Tje mengupah pekerja dengan beras dan bahan pangan lainnya. Selain itu An Tje juga mengajarkan bagaimana berdagang, atau membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut. Transfer pengetahuan
Selanjutnya, selain hasil adaptasi dengan golongan pedagang Wanci Mandati yang membentuk “spirit berniaga”, munculnya para kapitalis lokal Bajo tidak bisa dipungkiri terbentuk karena pengaruh ketokohan seorang pengusaha Cina bernama An Tje. Sebelum datangnya seorang perantau dan sekaligus pengusaha dari Cina yang bernama An Tje, masyarakat Mola masih mempertahankan pola hidup tradisional. Dimana pola nafkah utama masyarakat Bajo adalah hanya menggantungkan pada kegiatan penangkapan ikan. An Tje datang disaat orang-orang Bajo gemar menangkap dan memperdagangkan penyu. Tertarik dengan kekayaan hasil laut yang sangat melimpah antara lain teripang, penyu hijau, tuna, napoleon, dan kerapu macan, An Tje kemudian membeli beberapa komoditas untuk dijadikan contoh barang kepada “bos” di Makassar. Setelah sekembalinya dari perjalanan menuju singapura, dan singgah ke Makassar, An Tje kemudian membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut di Mola dengan tenaga upahan yang adalah orang-orang Bajo Mola. Tenaga upahan ini juga merupakan nelayan pengumpul yang dibina menjadi pengusaha. An Tje mengupah pekerja dengan beras dan bahan pangan lainnya. Selain itu An Tje juga mengajarkan bagaimana berdagang, atau membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut. Transfer pengetahuan
(transfer of knowledge) mengenai pengelolaan usaha,
merupakan warisan yang luar biasa bagi perkembangan
ekonomi masyarakat Bajo ke depan. Rata-rata pekerja An
Tje saat ini telah menjadi pengusaha perintis hasil-hasil
laut kelas “kakap” yang menguasai jaringan
perdagangan.
Setelah cukup ilmu, dan modal yang dikumpulkan telah layak untuk membuka usaha beberapa tenaga kerja An Tje kemudian mulai berusaha hasil laut sendiri dari usaha kecil-kecilan, pertama-tama memulai dengan mengumpulkan barang-barang/komoditas perikanan antara lain penyu, teripang, dan sirip dan ekor ikan hiu dari nelayan-nelayan Bajo. Kemudian, dengan berbekal keberanian, pertama mereka mencoba menjual komoditas tersebut dalam jumlah sedikit ke Bali, Makassar, Surabaya, hingga ke Pangkal Pinang. Dari upaya menjual tersebut, mulailah pengusaha-pengusaha menemukan “bos”, yang adalah pengumpul dan sekaligus merupakan eksportir di wilayah tersebut. Setelah kembali dari Bali, biasanya pengusaha membawa keuntungan hasil penjualan dalam bentuk barang-barang, antara lain barang-barang elektronik, seperti televisi, radio, kipas angin, yang tidak dijual di kampung. Barang-barang tersebut kemudian dijual kembali, atau juga bisa dijadikan barang “barteran” dengan komoditas laut yang akan dijual kembali ke Surabaya. Tidak mudah rupanya menjalin kerjasama dengan “bos” di luar wilayah Wanci, tidak jarang juga para pengusaha-pengusaha Bajo mengalami kerugian, sehingga pulang ke kampung dengan tangan hampa, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat berusaha para pengusaha Bajo tersebut. Kegagalan bukan menjadi penghalang. Komunikasi terus dibina oleh pengusaha Bajo dengan “Bos”/eksportir, dari komunikasi ini pengusaha akan tahu “spek” barang yang akan dijual, misalnya ukuran standar kerapu yang akan dijual.
Sesungguhnya unik melihat pola-pola hubungan orang Bajo dengan “tetangganya”. Beberapa bukti menunjukkan orang-orang Bajo menggeliat perekonomiaannya, dan pergerakan ekonomi juga dipengaruhi “tetangganya” dalam hal pertukaran ekonomi. Simbiosis ekonomi tidak hanya ditunjukkan antara hubungan Wanci dan Bajo, melainkan juga hubungan ekonomi antara Bugis dan Bajo yang sangat “mesra”. Misalnya Pelras (2006) mengungkapkan bahwa suku Bajo bukan sekedar suku pengembara laut yang hanya tahu menangkap ikan. Mereka, orang-orang Bajo sangat aktif mencari komoditi laut seperti kerang mutiara, teripang, sisik penyu, mutiara, kerang-kerangan, karang, dan rumput laut. Orang Bajo juga menyediakan berbagai komoditi pantai terutama dari hutan bakau seperti akar-akaran, kulit kayu bakau yang digunakan sebagai bahan celup, serta kayu garu, dammar, madu, lilin tawon lebah, dan sarang burung, baik yang terdapat di sekitar tempat tinggal atau pun dari tempat- tempat yang mereka kunjungi. Aktivitas ini melibatkan mereka dalam hubungan perdagangan dan barter dengan kerajaan Bugis dan Makassar.
Para aktor kapitalis Mola mengawali usahanya dengan beragam saluran. Pada beberapa aktor perintis, usaha mulai dipelajari cara pengelolaannya oleh An Tje dan modal dari usaha penangkapan hasil laut secara kecil- kecilan. Pengusaha hasil-hasil laut perintis menjadi tokoh-tokoh masyarakat Bajo Mola yang sangat disegani dan sangat terpandang. Selainkarena kekayaannya, juga karena ia menafkahi hampir sebagian besar nelayan Bajo di Wakatobi. Pengusaha perintis di Mola pada umumnya adalah kelas menengah yang meraih statusnya melalui suatu pengalaman historis yang cukup panjang, dengan proses mobilitas social vertical, yaitu yang dimulai dengan menjadi buruh, kemudian berkat bakat dan pengalamannya bekerja di An Tje berhasil menjadi pemilik sekaligus majikan bagi ratusan nelayan Bajo di Wakatobi. Untuk beberapa aktor pengikut lainnya, memulai usahanya dengan bekerja kepada pengusaha perintis.
Setelah cukup ilmu, dan modal yang dikumpulkan telah layak untuk membuka usaha beberapa tenaga kerja An Tje kemudian mulai berusaha hasil laut sendiri dari usaha kecil-kecilan, pertama-tama memulai dengan mengumpulkan barang-barang/komoditas perikanan antara lain penyu, teripang, dan sirip dan ekor ikan hiu dari nelayan-nelayan Bajo. Kemudian, dengan berbekal keberanian, pertama mereka mencoba menjual komoditas tersebut dalam jumlah sedikit ke Bali, Makassar, Surabaya, hingga ke Pangkal Pinang. Dari upaya menjual tersebut, mulailah pengusaha-pengusaha menemukan “bos”, yang adalah pengumpul dan sekaligus merupakan eksportir di wilayah tersebut. Setelah kembali dari Bali, biasanya pengusaha membawa keuntungan hasil penjualan dalam bentuk barang-barang, antara lain barang-barang elektronik, seperti televisi, radio, kipas angin, yang tidak dijual di kampung. Barang-barang tersebut kemudian dijual kembali, atau juga bisa dijadikan barang “barteran” dengan komoditas laut yang akan dijual kembali ke Surabaya. Tidak mudah rupanya menjalin kerjasama dengan “bos” di luar wilayah Wanci, tidak jarang juga para pengusaha-pengusaha Bajo mengalami kerugian, sehingga pulang ke kampung dengan tangan hampa, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat berusaha para pengusaha Bajo tersebut. Kegagalan bukan menjadi penghalang. Komunikasi terus dibina oleh pengusaha Bajo dengan “Bos”/eksportir, dari komunikasi ini pengusaha akan tahu “spek” barang yang akan dijual, misalnya ukuran standar kerapu yang akan dijual.
Sesungguhnya unik melihat pola-pola hubungan orang Bajo dengan “tetangganya”. Beberapa bukti menunjukkan orang-orang Bajo menggeliat perekonomiaannya, dan pergerakan ekonomi juga dipengaruhi “tetangganya” dalam hal pertukaran ekonomi. Simbiosis ekonomi tidak hanya ditunjukkan antara hubungan Wanci dan Bajo, melainkan juga hubungan ekonomi antara Bugis dan Bajo yang sangat “mesra”. Misalnya Pelras (2006) mengungkapkan bahwa suku Bajo bukan sekedar suku pengembara laut yang hanya tahu menangkap ikan. Mereka, orang-orang Bajo sangat aktif mencari komoditi laut seperti kerang mutiara, teripang, sisik penyu, mutiara, kerang-kerangan, karang, dan rumput laut. Orang Bajo juga menyediakan berbagai komoditi pantai terutama dari hutan bakau seperti akar-akaran, kulit kayu bakau yang digunakan sebagai bahan celup, serta kayu garu, dammar, madu, lilin tawon lebah, dan sarang burung, baik yang terdapat di sekitar tempat tinggal atau pun dari tempat- tempat yang mereka kunjungi. Aktivitas ini melibatkan mereka dalam hubungan perdagangan dan barter dengan kerajaan Bugis dan Makassar.
Para aktor kapitalis Mola mengawali usahanya dengan beragam saluran. Pada beberapa aktor perintis, usaha mulai dipelajari cara pengelolaannya oleh An Tje dan modal dari usaha penangkapan hasil laut secara kecil- kecilan. Pengusaha hasil-hasil laut perintis menjadi tokoh-tokoh masyarakat Bajo Mola yang sangat disegani dan sangat terpandang. Selainkarena kekayaannya, juga karena ia menafkahi hampir sebagian besar nelayan Bajo di Wakatobi. Pengusaha perintis di Mola pada umumnya adalah kelas menengah yang meraih statusnya melalui suatu pengalaman historis yang cukup panjang, dengan proses mobilitas social vertical, yaitu yang dimulai dengan menjadi buruh, kemudian berkat bakat dan pengalamannya bekerja di An Tje berhasil menjadi pemilik sekaligus majikan bagi ratusan nelayan Bajo di Wakatobi. Untuk beberapa aktor pengikut lainnya, memulai usahanya dengan bekerja kepada pengusaha perintis.
Kemudian untuk beberapa aktor pengikut, usaha dimulai
dengan migrasinya mereka ke wilayah-wilayah tertentu
seperti Tawau, Pepela, dan Makassar. Melalui migrasi,
mereka mempelajari seluk-beluk usaha hasil-hasil
perikanan, dan bahkan mengumpulkan modal usaha
diperantauan. Bagi beberapa aktor kapitalis lokal di Mola,
ada juga yang merupakan kapitalis penerus. Mereka
mewarisi usaha yang telah dibesarkan oleh kedua orang
tua mereka. Namun, bukan berarti dengan memiliki usaha
warisan yang telah berhasil dengan serta merta akan
membawa keberhasilan juga kepada penerusnya. Sebab,
pada beberapa kasus misalnya beberapa pengusaha Bajo
yang kaya raya, setelah meninggal semua harta
warisannya satu per satu digadaikan..
Sementara untuk pengusaha hasil-hasil laut di Mantigola, mereka cenderung sebagai pengusaha perintis, dan pengikut. Bagi pengusaha perintis, awal mula usaha bukan seperti pengusaha perintis di Mola, yang menjadi buruh di tempat penjualan hasil-hasil laut yang dimiliki oleh seorang Tianghoa bernama An Tje melainkan usaha dikelola dimulai ketika mereka melakukan migrasi temporer di Pepela. Pepela menjadi awal mulanya menjadi nelayan sawi, dari menjadi sawi kemudian para pengusaha kemudian mengenal bos-bos Tionghoa pengumpul hasil-hasil laut baik di Surabaya, Bali, Makassar, maupun di Pepela sendiri. Setelah cukup ilmu untuk menjadi punggawa, kemudian kembali ke Mantigola untuk mencari beberapa sawi, dan membeli perahu untuk dibawa ke Pepela. Setelah beranjak menjadi nelayan punggawa, dari posisi sebagai nelayan punggawa tersebut para bos yang dikenalnya kemudian memberi modal usaha yang sifatnya “mengikat” pengusaha Mantigola agar tetap menyetorkan hasil-hasil laut yang dibawa dari Mantigola. Beberapa pengusaha perempuan di mantigola yang berstatus sebagai perintis, memulai usahanya dari ikut-ikut suami mengantarkan barang dagangannya ke bos baik di Makassar maupun di Bau- bau. Dari situlah mereka belajar bagaimana mengelola usaha, menghitung untung rugi, dan bagaimana memutarkan uang hasil usaha.
Sementara untuk pengusaha pengikut di Mantigola, dimulai dengan ajakan sang daparanakan di Mola yang dahulu telah sangat sukses di Mola. Sedikit demi sedikit modal dikumpulkan dari hasil “mengolah” hasil tangkapan suami. Beberapa pengusaha malah mengaku diberi pinjaman modal dari sang daparanakan, namun dengan prasyarat bahwa mereka harus menjual hasil laut yang mereka peroleh kepada sang daparanakan di Mola.
Sementara untuk pengusaha hasil-hasil laut di Mantigola, mereka cenderung sebagai pengusaha perintis, dan pengikut. Bagi pengusaha perintis, awal mula usaha bukan seperti pengusaha perintis di Mola, yang menjadi buruh di tempat penjualan hasil-hasil laut yang dimiliki oleh seorang Tianghoa bernama An Tje melainkan usaha dikelola dimulai ketika mereka melakukan migrasi temporer di Pepela. Pepela menjadi awal mulanya menjadi nelayan sawi, dari menjadi sawi kemudian para pengusaha kemudian mengenal bos-bos Tionghoa pengumpul hasil-hasil laut baik di Surabaya, Bali, Makassar, maupun di Pepela sendiri. Setelah cukup ilmu untuk menjadi punggawa, kemudian kembali ke Mantigola untuk mencari beberapa sawi, dan membeli perahu untuk dibawa ke Pepela. Setelah beranjak menjadi nelayan punggawa, dari posisi sebagai nelayan punggawa tersebut para bos yang dikenalnya kemudian memberi modal usaha yang sifatnya “mengikat” pengusaha Mantigola agar tetap menyetorkan hasil-hasil laut yang dibawa dari Mantigola. Beberapa pengusaha perempuan di mantigola yang berstatus sebagai perintis, memulai usahanya dari ikut-ikut suami mengantarkan barang dagangannya ke bos baik di Makassar maupun di Bau- bau. Dari situlah mereka belajar bagaimana mengelola usaha, menghitung untung rugi, dan bagaimana memutarkan uang hasil usaha.
Sementara untuk pengusaha pengikut di Mantigola, dimulai dengan ajakan sang daparanakan di Mola yang dahulu telah sangat sukses di Mola. Sedikit demi sedikit modal dikumpulkan dari hasil “mengolah” hasil tangkapan suami. Beberapa pengusaha malah mengaku diberi pinjaman modal dari sang daparanakan, namun dengan prasyarat bahwa mereka harus menjual hasil laut yang mereka peroleh kepada sang daparanakan di Mola.
Namun, ada juga daparanakan di Mola yang telah sukses
berusaha lobster di Mola yang mencarikan bos eksportir
kepada pengusaha di Mantigola.
Tidak semua desa Bajo dapat berkembang dengan cepat selayaknya desa Mola di Pulau Wanci. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa strategisnya wilayah Wanci sebagai ibu kota kabupaten, dan secara historis orang- orang Wanci dalam hal ini orang Mandati telah lama mengembangkan jaringan perdagangan ke Pulau Buru hingga ke Singapura mempengaruhi laju perkembangan ekonomi di Mola. Belum lagi dengan perlakuan masyarakat Mandati terhadap masyarakat Mola yang dianggap sebagai pasar potensial, menyebabkan pembauran menjadi lebih mudah, dan pada akhirnya penetrasi kapitalisme juga mampu menembus dinding orientasi nilai masyarakat Bajo Mola.
Berbeda dengan Mola, Mantigola sebagai wilayah awal keberadaan dari sebagian besar orang-orang Bajo Mola sebaliknya bergerak lebih lambat. Mereka masih mempertahankan kesahajaan mereka, dengan hidup di atas laut, meskipun tidak hidup lagi di atas soppe-soppe. Mempertahankan sebagian besar cara-cara tradisional dalam kegiatan penangkapan ikan. Misalnya saja nelayan Bajo Mantigola identik dengan nelayan yang menggunakan panah untuk menangkap ikan karang jenis kerapu, ekor kuning, katambak. Sementara pancing untuk menangkap cakalang, tuna, dan ikan-ikan pelagic lainnya, bubu untuk menangkap ikan-ikan karang, dan dua buah rompong dimiliki oleh nelayan Mantigola untuk menangkap ikan-ikan pelagic kecil.
Perkembangan ekonomi semakin “mandek” karena adaptasi dengan masyarakat darat yakni orang-orang Buton Kaledupa yang menempatkan orang-orang Bajo sebagai golongan masyarakat rendahan. Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan istilah “amai wa’du” sebagai golongan masyarakat yang terendah yakni setara dengan kelompok papara atau golongan masyarakat budak. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Selain juga dengan pengalaman keterlibatan mereka terhadap gerombolan DI/TII, maka alasan-alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orang-orang Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh kebun yang bertugas untuk membersihkan dan merawat tanaman kelapa milik orang-orang Kaledupa. Tiga kampung Mola di Kaledupa identik dengan warna kemiskinan dan ekonomi yang mandek.
Dari pengamatan yang dilakukan selama penelitian, dari dua pasar yang ada di Kaledupa, tidak ada pasar yang berkembang selayaknya pasar yang ada di Mola. Sungguh aneh memang, daerah yang kaya akan sumberdaya ikan seperti di Pulau Kaledupa, namun untuk membeli seikat ikan segar saja harus menunggu hingga siang hari, menunggu orang-orang Bajo dengan koli-kolinya membawa ikan hasil tangkapan. Tidak jarang juga orang-
Tidak semua desa Bajo dapat berkembang dengan cepat selayaknya desa Mola di Pulau Wanci. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa strategisnya wilayah Wanci sebagai ibu kota kabupaten, dan secara historis orang- orang Wanci dalam hal ini orang Mandati telah lama mengembangkan jaringan perdagangan ke Pulau Buru hingga ke Singapura mempengaruhi laju perkembangan ekonomi di Mola. Belum lagi dengan perlakuan masyarakat Mandati terhadap masyarakat Mola yang dianggap sebagai pasar potensial, menyebabkan pembauran menjadi lebih mudah, dan pada akhirnya penetrasi kapitalisme juga mampu menembus dinding orientasi nilai masyarakat Bajo Mola.
Berbeda dengan Mola, Mantigola sebagai wilayah awal keberadaan dari sebagian besar orang-orang Bajo Mola sebaliknya bergerak lebih lambat. Mereka masih mempertahankan kesahajaan mereka, dengan hidup di atas laut, meskipun tidak hidup lagi di atas soppe-soppe. Mempertahankan sebagian besar cara-cara tradisional dalam kegiatan penangkapan ikan. Misalnya saja nelayan Bajo Mantigola identik dengan nelayan yang menggunakan panah untuk menangkap ikan karang jenis kerapu, ekor kuning, katambak. Sementara pancing untuk menangkap cakalang, tuna, dan ikan-ikan pelagic lainnya, bubu untuk menangkap ikan-ikan karang, dan dua buah rompong dimiliki oleh nelayan Mantigola untuk menangkap ikan-ikan pelagic kecil.
Perkembangan ekonomi semakin “mandek” karena adaptasi dengan masyarakat darat yakni orang-orang Buton Kaledupa yang menempatkan orang-orang Bajo sebagai golongan masyarakat rendahan. Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan istilah “amai wa’du” sebagai golongan masyarakat yang terendah yakni setara dengan kelompok papara atau golongan masyarakat budak. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Selain juga dengan pengalaman keterlibatan mereka terhadap gerombolan DI/TII, maka alasan-alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orang-orang Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh kebun yang bertugas untuk membersihkan dan merawat tanaman kelapa milik orang-orang Kaledupa. Tiga kampung Mola di Kaledupa identik dengan warna kemiskinan dan ekonomi yang mandek.
Dari pengamatan yang dilakukan selama penelitian, dari dua pasar yang ada di Kaledupa, tidak ada pasar yang berkembang selayaknya pasar yang ada di Mola. Sungguh aneh memang, daerah yang kaya akan sumberdaya ikan seperti di Pulau Kaledupa, namun untuk membeli seikat ikan segar saja harus menunggu hingga siang hari, menunggu orang-orang Bajo dengan koli-kolinya membawa ikan hasil tangkapan. Tidak jarang juga orang-
Tidak hanya perkembangan ekonomi saja yang mandek,
melainkan jauh dari hal tersebut, adaptasi yang dilakukan
oleh orang-orang Bajo terhadap orang Kaledupa karena
mendapatkan perlakuan yang tidak “manusiawi”, juga
pada akhirnya menyebabkan keengganan orang-orang
Bajo ikut aktif menggeliatkan perekonomian di Pulau
Kaledupa. Menurut pengakuan ibu MM, bentuk-bentuk
perlakuan orang darat Kaledupa yang tidak manusiawi,
misalnya orang Bajo menjual ikan di pasar Sampoawatu,
kemudian orang darat yang membeli ikan menawar
harganya, jika orang Bajo tidak sepakat dengan harga
ikan yang ditawarkan oleh darat, ikan biasanya dirampas,
kemudian orang darat akan memaki-maki orang Bajo,
bahkan ada yang dipukuli dan ikan tidak dibayar oleh
orang darat yang sedang mabuk.
Mantigola sendiri mengalami masa keemasan, ketika perdagangan penyu sisik dan penyu hijau marak diperdagangkan, dengan cara-cara tradisional tentunya. Dan tidak dapat dipungkiri juga nelayan Bajo saat itu juga marak menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan dalam kegiatan penangkapan, dan saat itu memang belum ada pelarangan seperti saat ini setelah Wakatobi berstatus Taman Nasional. Permintaan yang tinggi terhadap penyu hijau dari Bali, membuat banyak orang-orang Mantigola naik haji, suatu lambang prestise bagi masyarakat Bajo. Barulah saat taman nasional terbentuk pada tahun 1994, pelarangan terhadap kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan, dan ketegasan tersebut semakin menguat manakala Wakatobi berotonomi menjadi Kabupaten maka kegiatan perdagangan penyu dihentikan, dan dilakukan pengawasan yang sangat ketat oleh pihak jagawana taman nasional.
Masa-masa kemakmuran juga terjadi ketika nelayan- nelayan Bajo Mola Mantigola masih bisa menangkap hasil-hasil laut di wilayah perbatasan Indonesia-Australia. Dimusim-musim tertentu, rombongan kapal lambo yang terdiri dari nelayan-nelayan sawi maupun punggawa berangkat ke Pepela untuk melakukan penangkapan hasil- hasil laut seperti mencari sirip ikan hiu, lola, penyu, dan tuna. Mantigola juga memasok lambo bagi nelayan- nelayan di Pepela. Mantigola sendiri adalah sentra pembuatan lambo, selain Mola Utara di pulau Wanci. Mencari nafkah dengan melaut pada daerah penangkapan yang luas, dan pada waktu yang relative cukup lama, ini sifatnya sebagai bentuk migrasi temporer disebut Lama. Menurut Stacey (1999) lama diartikan sebagai berlayar atau untuk berlayar. Tujuan lama adalah melakukan kegiatan penangkapan, pengangkutan kargo, atau kegiatan membeli barang dan menjual kembali untuk masa periode tertentu.
Namun, semenjak MoU BOX 1974 disepakati oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Australia, menunjukkan bahwa pelarangan tersebut telah memukul mundur perkembangan orang-orang Mantigola. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa merantau ke Pepela, dan kemudian melakukan kegiatan penangkapan di perairan Australia dianggap sebagai sumber nafkah yang
Mantigola sendiri mengalami masa keemasan, ketika perdagangan penyu sisik dan penyu hijau marak diperdagangkan, dengan cara-cara tradisional tentunya. Dan tidak dapat dipungkiri juga nelayan Bajo saat itu juga marak menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan dalam kegiatan penangkapan, dan saat itu memang belum ada pelarangan seperti saat ini setelah Wakatobi berstatus Taman Nasional. Permintaan yang tinggi terhadap penyu hijau dari Bali, membuat banyak orang-orang Mantigola naik haji, suatu lambang prestise bagi masyarakat Bajo. Barulah saat taman nasional terbentuk pada tahun 1994, pelarangan terhadap kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan, dan ketegasan tersebut semakin menguat manakala Wakatobi berotonomi menjadi Kabupaten maka kegiatan perdagangan penyu dihentikan, dan dilakukan pengawasan yang sangat ketat oleh pihak jagawana taman nasional.
Masa-masa kemakmuran juga terjadi ketika nelayan- nelayan Bajo Mola Mantigola masih bisa menangkap hasil-hasil laut di wilayah perbatasan Indonesia-Australia. Dimusim-musim tertentu, rombongan kapal lambo yang terdiri dari nelayan-nelayan sawi maupun punggawa berangkat ke Pepela untuk melakukan penangkapan hasil- hasil laut seperti mencari sirip ikan hiu, lola, penyu, dan tuna. Mantigola juga memasok lambo bagi nelayan- nelayan di Pepela. Mantigola sendiri adalah sentra pembuatan lambo, selain Mola Utara di pulau Wanci. Mencari nafkah dengan melaut pada daerah penangkapan yang luas, dan pada waktu yang relative cukup lama, ini sifatnya sebagai bentuk migrasi temporer disebut Lama. Menurut Stacey (1999) lama diartikan sebagai berlayar atau untuk berlayar. Tujuan lama adalah melakukan kegiatan penangkapan, pengangkutan kargo, atau kegiatan membeli barang dan menjual kembali untuk masa periode tertentu.
Namun, semenjak MoU BOX 1974 disepakati oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Australia, menunjukkan bahwa pelarangan tersebut telah memukul mundur perkembangan orang-orang Mantigola. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa merantau ke Pepela, dan kemudian melakukan kegiatan penangkapan di perairan Australia dianggap sebagai sumber nafkah yang
mengantarkan beberapa orang Mantigola dalam
kelimpahan materi.
Terjangan gelombang lainnya yang mulai meruntuhkan daya juang nelayan dan pengusaha di Mantigola adalah dijadikannya kepulauan Wakatobi sebagai Taman Nasional pada tahun 1996 dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), dan otonominya Wakatobi menjadi Kabupaten. Pada tahun 2003, wilayah kepulauan Wakatobi menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton. Zonasi bagi nelayan di Mantigola menjadi momok yang menakutkan bagi nelayan di Mantigola. Bagi mereka zonasi sebagai pembunuhan secara perlahan-lahan bagi nelayan Bajo. Beberapa tineliti juga mengungkapkan bahwa selain karang, orang-orang Bajo di mantigola juga tidak bisa lagi mengambil kayu- kayu bakau di hutan bakau.
Perjuangan orang-orang Bajo di Pulau Kaledupa untuk mencari nafkah sesungguhnya menjadi berlipat-lipat dibandingkan orang-orang Bajo di Mola. Orang-orang Kaledupa tidak memberikan iklim kondusif bagi perkembangan perekonomian masyarakat Bajo. Roda perekonomian tidak bergerak dengan cepat. Padahal berdasarkan potensi ekologis, Pulau Kaledupa lebih kaya akan sumberdaya alam dibandingkan dengan pulau Wanci. Tidak jarang, orang-orang Bajo mendapatkan perlakuan kasar dari orang-orang Kaledupa. Perlakuan itu tidak terjadi saat ini, tapi terjadi sejak orang-orang Bajo hidup menetap di Pulau kaledupa.
Berdasarkan konteks sosialnya, masyarakat Kaledupa pada zaman Kesultanan Buton adalah sebuah kerajaan kecil (Barata) yang mengakui kekuasaan atau takluk dengan kekuasaan kesultanan Buton. Orang-orang Kaledupa sendiri terkenal memiliki perangai yang tegas. Sebagai suatu sistem social, masyarakat kaledupa terdiri dari empat kelas social, berdasarkan keturunan (ascribe status). Golongan Kaomu adalah golongan masyarakat kelas atas yang memiliki status sebagai golongan masyarakat bangsawan dan penguasa yang menguasai ranah eksekutif. Pada lapisan kedua adalah kelompok bangsawan Walaka yang menguasai ranah legislative. Dilapisan ketiga adalah golongan masyarakat Maradika yang adalah pegawai dan pedagang. Lapisan bawah adalah golongan masyarakat Papara yang merupakan golongan budak, buruh dan pekerja kasar.
Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan istilah “amai wa’du” yang artinya orang asing dari laut, sebagai golongan masyarakat yang terendah. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Ditambah dengan pola hidup masyarakat Bajo yang dinilai oleh masyarakat Kaledupa “jorok” atau “tidak bersih” semakin mempertegas garis batas antara orang-orang Bajo dan orang Kaledupa. Karena alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orang-orang Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh
Terjangan gelombang lainnya yang mulai meruntuhkan daya juang nelayan dan pengusaha di Mantigola adalah dijadikannya kepulauan Wakatobi sebagai Taman Nasional pada tahun 1996 dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), dan otonominya Wakatobi menjadi Kabupaten. Pada tahun 2003, wilayah kepulauan Wakatobi menjadi kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton. Zonasi bagi nelayan di Mantigola menjadi momok yang menakutkan bagi nelayan di Mantigola. Bagi mereka zonasi sebagai pembunuhan secara perlahan-lahan bagi nelayan Bajo. Beberapa tineliti juga mengungkapkan bahwa selain karang, orang-orang Bajo di mantigola juga tidak bisa lagi mengambil kayu- kayu bakau di hutan bakau.
Perjuangan orang-orang Bajo di Pulau Kaledupa untuk mencari nafkah sesungguhnya menjadi berlipat-lipat dibandingkan orang-orang Bajo di Mola. Orang-orang Kaledupa tidak memberikan iklim kondusif bagi perkembangan perekonomian masyarakat Bajo. Roda perekonomian tidak bergerak dengan cepat. Padahal berdasarkan potensi ekologis, Pulau Kaledupa lebih kaya akan sumberdaya alam dibandingkan dengan pulau Wanci. Tidak jarang, orang-orang Bajo mendapatkan perlakuan kasar dari orang-orang Kaledupa. Perlakuan itu tidak terjadi saat ini, tapi terjadi sejak orang-orang Bajo hidup menetap di Pulau kaledupa.
Berdasarkan konteks sosialnya, masyarakat Kaledupa pada zaman Kesultanan Buton adalah sebuah kerajaan kecil (Barata) yang mengakui kekuasaan atau takluk dengan kekuasaan kesultanan Buton. Orang-orang Kaledupa sendiri terkenal memiliki perangai yang tegas. Sebagai suatu sistem social, masyarakat kaledupa terdiri dari empat kelas social, berdasarkan keturunan (ascribe status). Golongan Kaomu adalah golongan masyarakat kelas atas yang memiliki status sebagai golongan masyarakat bangsawan dan penguasa yang menguasai ranah eksekutif. Pada lapisan kedua adalah kelompok bangsawan Walaka yang menguasai ranah legislative. Dilapisan ketiga adalah golongan masyarakat Maradika yang adalah pegawai dan pedagang. Lapisan bawah adalah golongan masyarakat Papara yang merupakan golongan budak, buruh dan pekerja kasar.
Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan istilah “amai wa’du” yang artinya orang asing dari laut, sebagai golongan masyarakat yang terendah. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Ditambah dengan pola hidup masyarakat Bajo yang dinilai oleh masyarakat Kaledupa “jorok” atau “tidak bersih” semakin mempertegas garis batas antara orang-orang Bajo dan orang Kaledupa. Karena alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orang-orang Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh
Intimidasi dan perlakuan yang diskriminatif yang
diberikan oleh orang-orang Kaledupa terhadap orang-
orang Bajo rupanya membentuk sifat penakut dari orang-
orang Bajo itu sendiri. Sifat yang terlekat pada
masyarakat Bajo ini pada akhirnya dijadikan sebagai
alasan bagi orang-orang Kaledupa untuk tetap melakukan
tindakan diskriminatif. Bentuk perlakuan diskriminatif
tersebut misalnya ketika orang Bajo menjual ikan di pasar
Sampoawatu, kemudian orang darat yang membeli ikan
menawar harganya, jika orang Bajo tidak sepakat dengan
harga ikan yang ditawarkan oleh darat, ikan biasanya
dirampas, kemudian orang darat akan memaki-maki orang
Bajo, bahkan ada yang dipukuli dan ikan tidak dibayar
oleh orang darat yang sedang mabuk. Namun, tidak
berarti semua masyarakat darat berlaku jahat terhadap
orang Bajo, ada juga orang-orang darat yang berjasa
kepada masyarakat bajo Mantigola dengan memberikan
pengabdiannya sebagai guru sekolah dasar, dan sekolah
madrasah. Beberapa orang darat juga menjalin kerjasama
dengan nelayan Bajo, dengan memasarkan hasil
tangkapannya ke darat.
Kemudian, setelah beberapa komoditas laut yang bernilai tinggi dilarang, Perkembangan ekonomi di Mantigola perlahan-lahan melambat. Mantigola sendiri adalah cabang dari Mola. Usaha yang dikembangkan oleh orang- orang Bajo Mantigola mengalami kondisi “jatuh-bangun”. Menurut pengakuan orang-orang Mantigola, pemerintah kurang memberi sentuhan terhadap orang-orang Bajo Mantigola agar ekonomi bisa berkembang.
Kemudian, penyebab kemandekan ekonomi di Mantigola berikutnya adalah, pembeli hasil-hasil laut yang tidak langsung ke Mantigola, tapi membeli hasil-hasil laut hanya sampai ke Mola. Bos-bos Cina yang ingin membeli ikan hidup, pada awalnya ke Mantigola, mereka menyatakan ingin membeli ikan hidup nelayan di Mantigola. Namun, ternyata Pak Choi dan Pak Hengki malah bekerjasama dengan pengumpul Di Mola.
Melihat konteks sejarah yang melatarbelakangi proses lahirnya kapitalisme di suku Bajo Mola dan Bajo Mantigola, maka teori Weberian lebih tepat digunakan untuk menganalisa “akar” dari berkembangnya kapitalisme lokal di suku Bajo. Seperti apa yang telah diungkapkan pada bagian tinjauan pustaka yang membahas mengenai ciri kapitalisme, teorisasi Weber mengungkapkan bahwa Weberian menekankan analisa pada latarbelakang kemunculan kapitalisme, nilai-nilai lah yang pertama berperan, kemudian barulah terjadi perubahan artikulasi cara produksi sebagai hasil dari perubahan nilai tersebut. Sementara Marx menjustifikasi bahwa kelas kapitalisme muncul karena ada kontradiksi internal dari kapitalisme yang menyebabkan terkonsentrasinya kepemilikan properti di tangan kelas tertentu, kemudian di sisi lain semakin meningkatnya jumlah proletariat.
Yang terjadi pada suku Bajo Mola maupun Mantigola, kapitalisme masuk melalui “ide-ide” tentang perdagangan hasil-hasil laut melalui An Tje seorang pengusaha dari Tanjung Pinang. Penetrasi kapitalisme ini kemudian
Kemudian, setelah beberapa komoditas laut yang bernilai tinggi dilarang, Perkembangan ekonomi di Mantigola perlahan-lahan melambat. Mantigola sendiri adalah cabang dari Mola. Usaha yang dikembangkan oleh orang- orang Bajo Mantigola mengalami kondisi “jatuh-bangun”. Menurut pengakuan orang-orang Mantigola, pemerintah kurang memberi sentuhan terhadap orang-orang Bajo Mantigola agar ekonomi bisa berkembang.
Kemudian, penyebab kemandekan ekonomi di Mantigola berikutnya adalah, pembeli hasil-hasil laut yang tidak langsung ke Mantigola, tapi membeli hasil-hasil laut hanya sampai ke Mola. Bos-bos Cina yang ingin membeli ikan hidup, pada awalnya ke Mantigola, mereka menyatakan ingin membeli ikan hidup nelayan di Mantigola. Namun, ternyata Pak Choi dan Pak Hengki malah bekerjasama dengan pengumpul Di Mola.
Melihat konteks sejarah yang melatarbelakangi proses lahirnya kapitalisme di suku Bajo Mola dan Bajo Mantigola, maka teori Weberian lebih tepat digunakan untuk menganalisa “akar” dari berkembangnya kapitalisme lokal di suku Bajo. Seperti apa yang telah diungkapkan pada bagian tinjauan pustaka yang membahas mengenai ciri kapitalisme, teorisasi Weber mengungkapkan bahwa Weberian menekankan analisa pada latarbelakang kemunculan kapitalisme, nilai-nilai lah yang pertama berperan, kemudian barulah terjadi perubahan artikulasi cara produksi sebagai hasil dari perubahan nilai tersebut. Sementara Marx menjustifikasi bahwa kelas kapitalisme muncul karena ada kontradiksi internal dari kapitalisme yang menyebabkan terkonsentrasinya kepemilikan properti di tangan kelas tertentu, kemudian di sisi lain semakin meningkatnya jumlah proletariat.
Yang terjadi pada suku Bajo Mola maupun Mantigola, kapitalisme masuk melalui “ide-ide” tentang perdagangan hasil-hasil laut melalui An Tje seorang pengusaha dari Tanjung Pinang. Penetrasi kapitalisme ini kemudian
semakin berkembang juga karena peran akulturasi dari
orang-orang Bajo Mola dengan masyarakat Wanci
Mandati yang memang adalah pedagang. Melalui
pertukaran ekonomi, ide mengenai perdagangan hasil laut
diterima dengan sangat baik oleh para aktor kapitalis.
Iklim yang kondusif untuk berekonomi juga muncul,
karena hubungan “simbiosis mutualisme” secara historis
antara orang Bajo Mola dengan orang Wanci Mandati.
Proses orang-orang Bajo Mantigola juga diawali melalui penetrasi nilai-nilai kapitalisme. Misalnya seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa para pengusaha perintis di Mantigola, bahwa proses belajar berusaha hasil-hasil laut di mulai ketika mereka merantau ke Pepela, dan bekerja bersama di lambo orang-orang Bajo di Pepela, awalnya menjadi sawi, kemudian ketika ilmu tersebut kemudian diserap dari punggawa dan toke di Pepela, sekembalinya di Mantigola, ilmu tersebut diterapkan. Sayangnya, proses akulturasi budaya dengan orang-orang Kaledupa tidak memberikan ruang yang kondusif untuk mengembangkan usaha, selain itu juga tekanan dari hadirnya taman nasional, membatasi ruang- ruang nafkah bagi orang-orang Bajo Mantigola.
Karakteristik Aktor Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Mantigola
Orientasi Nilai Budaya di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola
Persepsi Manusia terhadap Alam di dalam Bentuk Kapitalisme Lokal
Bagi orang Bajo Mantigola laut diibaratkan sebagian bagian dari deru nafas kehidupannya. Alam semesta merupakan sejarah yang digambarkan, visi terhadap ruang kehidupan, yakni laut juga merupakan visi tentang waktu. Menurut Mbo’, kami orang Bajo tidak bisa hidup di darat, kami tidak bisa lepas dari laut tempat kami berasal. Laut memberikan kehidupan, laut juga bisa memberi kemurkaan. Menurut Zacot (2008) orang Bajo sangat unik, karena sesungguhnya selalu menolak hidup di daratan, dan mengikuti kebiasaan makan orang daratan. Itulah sebabnya orang Bajo sedikit memakan sayur, dan buah-buahan, apalagi daging. Kemudian, sampai sekarang orang-orang Bajo Mantigola sangat percaya “pertanda” yang diberikan laut, misalnya tinggi rendahnya air laut yang diukur berdasarkan tiang tancap rumah, mampu memberikan isyarat kabar buruk yang akan menimpa sang pemilik rumah. Tanda penghormatan orang Bajo Mantigola yang masih sangat kuat dipegang ditunjukkan dengan penghoratan terhadap ritual tamoni adalah ritual yang dilakukan dengan maksud untuk menyimpan ari-ari anak yang baru dilahirkan.
Dengan dimulainya kehidupan orang-orang Bajo Mola di daratan Wanci, secara berangsur-angsur makna laut yang bermakna spiritual memudar. Bagi orang Mola, laut digambarkan sebagai “rezeki”. Dengan makna tersebut, orang-orang Mola melepaskan ranah spiritualnya dengan mulai melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi produksi yang mulai meninggalkan keselarasan dengan alam. Beragam bentuk modernisasi perikanan perlahan-lahan diterima, seperti yang telah dijabarkan pada bab lima konteks sejarah perkembangan kapitalisme lokal. Sehingga pemaknaan terhadap laut mempengaruhi segala
Proses orang-orang Bajo Mantigola juga diawali melalui penetrasi nilai-nilai kapitalisme. Misalnya seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa para pengusaha perintis di Mantigola, bahwa proses belajar berusaha hasil-hasil laut di mulai ketika mereka merantau ke Pepela, dan bekerja bersama di lambo orang-orang Bajo di Pepela, awalnya menjadi sawi, kemudian ketika ilmu tersebut kemudian diserap dari punggawa dan toke di Pepela, sekembalinya di Mantigola, ilmu tersebut diterapkan. Sayangnya, proses akulturasi budaya dengan orang-orang Kaledupa tidak memberikan ruang yang kondusif untuk mengembangkan usaha, selain itu juga tekanan dari hadirnya taman nasional, membatasi ruang- ruang nafkah bagi orang-orang Bajo Mantigola.
Karakteristik Aktor Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Mantigola
Orientasi Nilai Budaya di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola
Persepsi Manusia terhadap Alam di dalam Bentuk Kapitalisme Lokal
Bagi orang Bajo Mantigola laut diibaratkan sebagian bagian dari deru nafas kehidupannya. Alam semesta merupakan sejarah yang digambarkan, visi terhadap ruang kehidupan, yakni laut juga merupakan visi tentang waktu. Menurut Mbo’, kami orang Bajo tidak bisa hidup di darat, kami tidak bisa lepas dari laut tempat kami berasal. Laut memberikan kehidupan, laut juga bisa memberi kemurkaan. Menurut Zacot (2008) orang Bajo sangat unik, karena sesungguhnya selalu menolak hidup di daratan, dan mengikuti kebiasaan makan orang daratan. Itulah sebabnya orang Bajo sedikit memakan sayur, dan buah-buahan, apalagi daging. Kemudian, sampai sekarang orang-orang Bajo Mantigola sangat percaya “pertanda” yang diberikan laut, misalnya tinggi rendahnya air laut yang diukur berdasarkan tiang tancap rumah, mampu memberikan isyarat kabar buruk yang akan menimpa sang pemilik rumah. Tanda penghormatan orang Bajo Mantigola yang masih sangat kuat dipegang ditunjukkan dengan penghoratan terhadap ritual tamoni adalah ritual yang dilakukan dengan maksud untuk menyimpan ari-ari anak yang baru dilahirkan.
Dengan dimulainya kehidupan orang-orang Bajo Mola di daratan Wanci, secara berangsur-angsur makna laut yang bermakna spiritual memudar. Bagi orang Mola, laut digambarkan sebagai “rezeki”. Dengan makna tersebut, orang-orang Mola melepaskan ranah spiritualnya dengan mulai melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi produksi yang mulai meninggalkan keselarasan dengan alam. Beragam bentuk modernisasi perikanan perlahan-lahan diterima, seperti yang telah dijabarkan pada bab lima konteks sejarah perkembangan kapitalisme lokal. Sehingga pemaknaan terhadap laut mempengaruhi segala
Sebaliknya, orang Bajo Mantigola yang bertahan hidup di
atas laut, memaknai lautan tidak hanya bermakna magis,
akan tetapi juga dianggap orang-orang Mantigola sebagai
“kebun” tempat mencari nafkah. Orang Bajo Mantigola
tidak peduli jika tidak memiliki tanah di daratan
Kaledupa, mereka hanya meminta “sedikit” tanah untuk
liang kubur tubuh mereka didaratan, dan “air tawar”
sebagai bilasan setelah mandi di laut, dan untuk memasak,
selebihnya air laut yang berperan. Maka dua sumberdaya
yang nampaknya sedikit itu, namun bernilai sangat besar
bagi orang Bajo, harus bergantung pada kebaikan hati
orang-orang darat yakni orang-orang Kaledupa yang
memiliki tanah di Kaledupa. Orang-orang Kaledupa yang
berperangai tegas, dan cenderung otokratis, menjadikan
orang-orang Bajo lebih ofensif, tertutup, dan lebih
penakut. Ditambah dengan kesalahan orang-orang Bajo di
masa lalu, yang mendukung gerombolan, dan
menyebabkan mereka harus terusir ke Mola, maupun ke
La Manggau. Semua ini pada akhirnya menciptakan rasa
tidak percaya yang berlebihan dari orang Kaledupa
terhadap orang-orang Bajo. Semua bentuk penghinaan,
dan tindakan-tindakan kasar dari orang-orang Kaledupa
diterima oleh orang-orang Bajo Mantigola begitu saja,
tanpa berani untuk melakukan perlawanan kepada orang
Kaledupa.
Karena laut, beserta terumbu karang yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai “kebun” milik, dan sumber pendapatan utama maka orang-orang Bajo Mantigola cenderung memperlakukan laut dengan cara mereka sendiri, yang diikuti dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Selayaknya jika kita memiliki kebun di daratan, misalnya alih fungsi lahan ke dalam bentuk apapun bisa kita lakukan menjadikannya sebagai kebun kacang, atau mendirikan rumah adalah otoritas kita. Demikian pula halnya dengan orang-orang Bajo, malah perlakuannya kepada laut diidentikkan sebagai upaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Misalnya mengambil kayu bakau untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak, mencungkil terumbu karang untuk mendapatkan mata tujuh (abalone) yang bersembunyi dibalik batu karang, dan mengambil kima yang duduk di atas karang, bahkan dahulu orang Bajo sering memakai bahan peledak untuk mencari ikan.
Kemudian, karena “kebun” orang Bajo Mantigola sangat luas, dan memiliki sumberdaya yang berlimpah. Jika orang Bajo lapar, tinggal mengambil perahu dan jaring, maka ketika ikan tertangkap, masalah kelaparan bisa
Karena laut, beserta terumbu karang yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai “kebun” milik, dan sumber pendapatan utama maka orang-orang Bajo Mantigola cenderung memperlakukan laut dengan cara mereka sendiri, yang diikuti dengan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Selayaknya jika kita memiliki kebun di daratan, misalnya alih fungsi lahan ke dalam bentuk apapun bisa kita lakukan menjadikannya sebagai kebun kacang, atau mendirikan rumah adalah otoritas kita. Demikian pula halnya dengan orang-orang Bajo, malah perlakuannya kepada laut diidentikkan sebagai upaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Misalnya mengambil kayu bakau untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak, mencungkil terumbu karang untuk mendapatkan mata tujuh (abalone) yang bersembunyi dibalik batu karang, dan mengambil kima yang duduk di atas karang, bahkan dahulu orang Bajo sering memakai bahan peledak untuk mencari ikan.
Kemudian, karena “kebun” orang Bajo Mantigola sangat luas, dan memiliki sumberdaya yang berlimpah. Jika orang Bajo lapar, tinggal mengambil perahu dan jaring, maka ketika ikan tertangkap, masalah kelaparan bisa
teratasi. Dengan sistem pengelolaan semberdaya seperti
ini yaitu dengan berburu (gathering), menciptakan suatu
pola tertentu pada masyarakat Bajo Mantigola dalam
sifatnya mengelola keuangan rumahtangga yakni sifat
boros yang berlebihan. Sehari saja nyaris enam kali orang
Bajo menghabiskan makanan. Belum jajan yang
merupakan “keharusan” untuk dinikmati oleh setiap
rumahtangga Bajo Mantigola.
Ada satu hal yang harus dipahami dalam perubahan makna laut bagi orang-orang Bajo Mola. Kehidupan di daratan yang telah dialami oleh orang-orang Bajo, bisa menjadi faktor yang menyebabkan bergesernya makna laut yang sedemikian dalamnya bagi orang-orang Bajo, baik bermakna magis (sebagai persemayaman leluhur, dan tempat hidup kuta dan tulli), bermakna sosial (sebagai identitas sosial), dan bermakna ekonomi (sebagai sumber nafkah).
Sebelumnya, makna magis menguasai ranah pemaknaan terhadap laut. Misalnya seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya dalam bagian agama terhadap kapitalisme lokal, bahwa berkat kepercayaan yang berlebihan mengenai laut beserta daya magis yang dapat ditimbulkannya, menyebabkan timbulnya hubungan- hubungan, pertukaran-pertukaran diantara orang Bajo dapat dilaksanakan, dan kehidupan bermasyarakat yang harmonis tanpa harus hitung-hitungan untung dan rugi seperti seorang kapitalis. Kepercayaan terhadap laut juga menghilangkan ketegangan-ketegangan yang bisa ditimbulkan di antara orang-orang Bajo.
Hakekat Manusia dengan Manusia di Dalam
Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Ada satu hal yang harus dipahami dalam perubahan makna laut bagi orang-orang Bajo Mola. Kehidupan di daratan yang telah dialami oleh orang-orang Bajo, bisa menjadi faktor yang menyebabkan bergesernya makna laut yang sedemikian dalamnya bagi orang-orang Bajo, baik bermakna magis (sebagai persemayaman leluhur, dan tempat hidup kuta dan tulli), bermakna sosial (sebagai identitas sosial), dan bermakna ekonomi (sebagai sumber nafkah).
Sebelumnya, makna magis menguasai ranah pemaknaan terhadap laut. Misalnya seperti yang telah saya ungkapkan sebelumnya dalam bagian agama terhadap kapitalisme lokal, bahwa berkat kepercayaan yang berlebihan mengenai laut beserta daya magis yang dapat ditimbulkannya, menyebabkan timbulnya hubungan- hubungan, pertukaran-pertukaran diantara orang Bajo dapat dilaksanakan, dan kehidupan bermasyarakat yang harmonis tanpa harus hitung-hitungan untung dan rugi seperti seorang kapitalis. Kepercayaan terhadap laut juga menghilangkan ketegangan-ketegangan yang bisa ditimbulkan di antara orang-orang Bajo.
Makna hubungan manusia dengan sesama manusia bagi
orang-orang Bajo, dan mempengaruhi warna kapitalisme
sebenarnya dapat dipahami melalui makna sama dan
bagai. Makna Sama (orang-orang Bajo) dan Bagai (orang-
orang darat) yang menegaskan bahwa ada garis tegas
antara orang sama (Bajo) dan bagai (orang-orang
Daratan). Pada masyarakat Bajo, berkembang mitos
bahwa Sang Dewata memperuntukkan lingkungan laut
bagi orang-orang Bajo (sama). Adanya konsep sama dapu
ma di laok yang berarti lautan miliki orang Bajo (sama).
Yang berarti pula lingkungan darat diperuntukkan bagi
orang yang tinggal di darat (bagai) (Zacot, 2002). Oleh
karena itu, umumnya orang Bajo memiliki mata
pencaharian utama menangkap ikan atau memanfaatkan
sumberdaya alam laut, sedangkan lingkungan darat
dengan segala potensinya kurang mendapat perhatian
bahkan tidak dimanfaatkan dengan baik. Menurut Sayuti
(2004) di dalam kehidupan sehari-hari, orang Bajo
mengenal dua konsep yang berbeda di dalam interaksi
sosialnya yakni sama dan bagai. Mereka menyebut
dirinya sama (orang Bajo) yang membedakannya dengan
orang bukan Bajo (bagai). Bagi orang Bajo, orang bagai
adalah semua masyarakat lainnya. Selanjutnya Sayuti
menekankan bahwa konsep sama dan bagai bukan hanya
merupakan simbol ”Bajo” dan ”bukan Bajo”, tetapi juga
merupakan simbol kehidupan di laut dan di darat.
Istilah sama mendukung gagasan untuk membuat orang- orang Bajo menjadi sebuah masyarakat, sebab istilah ini mengingatkan setiap orang bahwa ia merupakan warga dan termasuk di dalam kelompoknya. Apabila seorang Bajo menggunakan istilah sama, ia menitikberatkan pada apa yang ditunjukkannya pada kelompoknya (Zacot, 2002). Pertama kesamaan antara dua orang Bajo, dan kemudian antara semua anggota kelompoknya. Jadi, kata sama mirip sebuah kode, ini menunjukkan suatu usaha untuk menciptakan sebuah perasaan kekompakan dan juga untuk membedakan diri dari orang-orang lainnya. Munculnya kata ini tentunya terjadi bersamaan dalam sejarah masyarakat Bajo, dan merupakan hasil dan ungkapan sejarah mereka. Peringatan terhadap dunia bagai diinternalisasikan kepada anak-anak generasi penerus mereka dalam setiap kehidupan sehari-hari.
Istilah sama mendukung gagasan untuk membuat orang- orang Bajo menjadi sebuah masyarakat, sebab istilah ini mengingatkan setiap orang bahwa ia merupakan warga dan termasuk di dalam kelompoknya. Apabila seorang Bajo menggunakan istilah sama, ia menitikberatkan pada apa yang ditunjukkannya pada kelompoknya (Zacot, 2002). Pertama kesamaan antara dua orang Bajo, dan kemudian antara semua anggota kelompoknya. Jadi, kata sama mirip sebuah kode, ini menunjukkan suatu usaha untuk menciptakan sebuah perasaan kekompakan dan juga untuk membedakan diri dari orang-orang lainnya. Munculnya kata ini tentunya terjadi bersamaan dalam sejarah masyarakat Bajo, dan merupakan hasil dan ungkapan sejarah mereka. Peringatan terhadap dunia bagai diinternalisasikan kepada anak-anak generasi penerus mereka dalam setiap kehidupan sehari-hari.
Terminologi sama dan bagai bagi masyarakat Bajo,
serupa dengan temuan Hefner (1999) mengenai identitas
tegas orang-orang Tengger dan dan orang-orang
Pasuruan, khususnya dalam perjalanan perubahan
ekonomi. Orang Tengger menganggap, orang Pasuruan
yang beradaptasi dengan ekologi dataran rendah sangat
tidak adil , dengan banyaknya orang yang tidak punya
tanah, perbedaan mencolok antara yang kaya dengan yang
miskin, serta sejak dulu tidak memiliki toleransi
keagamaan, sadar status, yang dihargai hanyalah pangkat,
dan tidak ramah. Sementara orang Tengger yang hidup di
gunung tidak prestisius dan terbuka (blater), dan orang
gunung mengenggap diri mereka semua sama, sedang
keturunan yang sama pula.
Makna ini tidak hanya sekedar sebagai identitas etnik Bajo, karena kemudian makna ini merasuk pada pemilihan usaha yang akan dikembangkan, dan mempengaruhi bentuk-bentuk pola ekspansi usaha. Jika orang Bugis tidak mempermasalahkan ranah ekspansi usaha, misalnya orang bugis yang menguasai kegiatan penangkapan ikan dengan trawl, di Tarakan, dan Tawao, menguasai pertambakan di Delta Mahakam, menjadi petani coklat yang kaya raya di Kolaka, dan orang Bugis di Samarinda yang memonopoli impor bahan pangan hingga senjata api (Pelras, 2006). Maka tidak heran, jika ekspansi usaha orang-orang Mola bukan dengan menguasai daratan Wanci, seperti membeli tanah di daratan, kemudian membuka kios bahan bangunan sebagai usaha utama, dan kemudian usaha tersebut berdampingan, atau ikut-ikutan orang Mandati berjualan barang bekas impor dari Singapura. Ekspansi usaha orang-orang Mola terbuka untuk segala usaha yang berbau sumberdaya laut, seperti memperkuat armada penangkapan, menambah modal untuk memperkuat basis perniagaan hasil-hasil laut, ekspansi pada jalur transportasi.
Maka, bagi masyarakat Bajo Mola ekspansi kapital dalam bentuk penguasaan lahan di daratan cenderung tidak akan dilakukan oleh orang-orang Bajo, karena orang-orang Bajo memahami bahwa laut sebagai wilayah kekuasaannya, sementara segala sesuatu yang ada di daratan adalah merupakan wilayah kekuasaan orang- orang darat (Bagai). Seperti pribahasa orang-orang Bajo (Zacot, 2008) : “bagai tikka ma dara (datang dari darat, hidup di darat) atau bahkan lebih lazim tikka ma diata (datang dari atas, dalam arti “dari sana menuju ke darat).
Makna sama dan bagai juga masih memiliki makna yang mendasar dalam hal pemilihan tenaga kerja, bahkan untuk
Makna ini tidak hanya sekedar sebagai identitas etnik Bajo, karena kemudian makna ini merasuk pada pemilihan usaha yang akan dikembangkan, dan mempengaruhi bentuk-bentuk pola ekspansi usaha. Jika orang Bugis tidak mempermasalahkan ranah ekspansi usaha, misalnya orang bugis yang menguasai kegiatan penangkapan ikan dengan trawl, di Tarakan, dan Tawao, menguasai pertambakan di Delta Mahakam, menjadi petani coklat yang kaya raya di Kolaka, dan orang Bugis di Samarinda yang memonopoli impor bahan pangan hingga senjata api (Pelras, 2006). Maka tidak heran, jika ekspansi usaha orang-orang Mola bukan dengan menguasai daratan Wanci, seperti membeli tanah di daratan, kemudian membuka kios bahan bangunan sebagai usaha utama, dan kemudian usaha tersebut berdampingan, atau ikut-ikutan orang Mandati berjualan barang bekas impor dari Singapura. Ekspansi usaha orang-orang Mola terbuka untuk segala usaha yang berbau sumberdaya laut, seperti memperkuat armada penangkapan, menambah modal untuk memperkuat basis perniagaan hasil-hasil laut, ekspansi pada jalur transportasi.
Maka, bagi masyarakat Bajo Mola ekspansi kapital dalam bentuk penguasaan lahan di daratan cenderung tidak akan dilakukan oleh orang-orang Bajo, karena orang-orang Bajo memahami bahwa laut sebagai wilayah kekuasaannya, sementara segala sesuatu yang ada di daratan adalah merupakan wilayah kekuasaan orang- orang darat (Bagai). Seperti pribahasa orang-orang Bajo (Zacot, 2008) : “bagai tikka ma dara (datang dari darat, hidup di darat) atau bahkan lebih lazim tikka ma diata (datang dari atas, dalam arti “dari sana menuju ke darat).
Makna sama dan bagai juga masih memiliki makna yang mendasar dalam hal pemilihan tenaga kerja, bahkan untuk
memilih tangan kanan, yang akan membantu mereka
menjalankan usaha. Misalnya bagi usaha ikan kerapu
hidup, sudah menjadi harga mati nelayan yang diapai
adalah nelayan pancing Bajo, dan koordinator
(punggawa) pada masing-masing kelompok penangkapan
juga harus orang-orang Bajo dan terkait dengan hubungan
kekerabatan (daparanakan). Bagi koordinator,
daparanakan sebagai institusi jaminan sosial, dalam artian
kemanan posisi mereka sebagai kapitalis kecil. Meskipun
Nampak sedikit menyulitkan posisi koordinator dengan
mekanisme patron client ini, namun jaminan keuntungan
bisa diperoleh dari pola hubungan ini. Ini juga sekaligus
menemukan bahwa tidak hanya daparanakan saja yang
digunakan sebagai institusi pendukung usaha, namun
kelembagaan patron client harus diakui sebagai
mekanisme yang menghasilkan surplus dalam
pengembangan usaha ikan hidup. Bagi nelayan sawi
terhadap coordinator, maupun coordinator dengan
pengumpul besar yakni Hj. NI, dua kelembagaan ini
memberikan jaminan sosial khususnya kepada nelayan
sawi yang rentan hidup mendekati batas subsistensinya.
Daparanakan dianggap sebagai “perekat” antara para aktor kapitalis lokal Mola. Aturan main persaingan bisnis juga diatur dalam kelembagaan ini. Menurut Zacot (2008) Daparanakan adalah sebuah keluarga dalam arti “orang yang tinggal” dalam satu rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup dibawah satu atap rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka. Daparanakan merujuk pada ruang geografis.
Nilai dalam kelembagaan daparanakan, juga serupa dengan nilai pesse’ babua, yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, yang mengindikasikan perasaan haru (empati) terhadap tetangga, kerabat atau atau sesame anggota kelompok social. Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok social yang sedang dalam keadaan serba kekurangan. Pesse’ berhubungan erat dengan identitas bersama yang merupakan pengikat para anggota kelompok sosial (Pelras, 2006).
Untuk beberapa kasus pengusaha hasil ikan di Mola, menunjukkan kecenderungan bahwa batas etnisitas sama dan bagai rupanya mulai samar, bukan hanya karena perubahan zaman, melainkan orang-orang darat yakni orang-orang Mandati bisa menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Bajo. Di pasar-pasar, pedagang ikan dari Mandati duduk berdampingan dengan pedagang ikan dari Bajo Mola, semua berbaur, tanpa harus ada diskriminasi. Orang Mandati sendiri paham benar peran orang-orang Bajo bagi perkembangan usaha dagang mereka. Sebagai konsumen yang potensial bagi pasar komoditas orang- orang Mandati, Bajo diperlakukan setara. Beberapa aktor kapitalis lokal Mola seperti pengumpul tuna dan teripang saja sudah menggunakan orang-orang darat untuk menjadi mitra kerjanya.
Karena hakekat orang Bajo Mola sudah mulai menganut kecenderungan ke arah individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri, maka kecenderungan terjadinya bentuk-bentuk transfer keuntungan dalam
Daparanakan dianggap sebagai “perekat” antara para aktor kapitalis lokal Mola. Aturan main persaingan bisnis juga diatur dalam kelembagaan ini. Menurut Zacot (2008) Daparanakan adalah sebuah keluarga dalam arti “orang yang tinggal” dalam satu rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup dibawah satu atap rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka. Daparanakan merujuk pada ruang geografis.
Nilai dalam kelembagaan daparanakan, juga serupa dengan nilai pesse’ babua, yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, yang mengindikasikan perasaan haru (empati) terhadap tetangga, kerabat atau atau sesame anggota kelompok social. Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok social yang sedang dalam keadaan serba kekurangan. Pesse’ berhubungan erat dengan identitas bersama yang merupakan pengikat para anggota kelompok sosial (Pelras, 2006).
Untuk beberapa kasus pengusaha hasil ikan di Mola, menunjukkan kecenderungan bahwa batas etnisitas sama dan bagai rupanya mulai samar, bukan hanya karena perubahan zaman, melainkan orang-orang darat yakni orang-orang Mandati bisa menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Bajo. Di pasar-pasar, pedagang ikan dari Mandati duduk berdampingan dengan pedagang ikan dari Bajo Mola, semua berbaur, tanpa harus ada diskriminasi. Orang Mandati sendiri paham benar peran orang-orang Bajo bagi perkembangan usaha dagang mereka. Sebagai konsumen yang potensial bagi pasar komoditas orang- orang Mandati, Bajo diperlakukan setara. Beberapa aktor kapitalis lokal Mola seperti pengumpul tuna dan teripang saja sudah menggunakan orang-orang darat untuk menjadi mitra kerjanya.
Karena hakekat orang Bajo Mola sudah mulai menganut kecenderungan ke arah individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri, maka kecenderungan terjadinya bentuk-bentuk transfer keuntungan dalam
bentuk akusisi kapital sangat besar kemungkinan
terjadinya. Akusisi diartikan sebagai beberapa faktor-
faktor tertentu dan alokasi pendapatan yang strategis yang
bertujuan untuk memperoleh akses kepada sumberdaya
eksternal dalam artian melalui pertukaran didalam sistem
tersebut. Dengan kata lain, hal ini tidak menimbulkan
pertukaran interaktif dengan orang lain, namun lebih pada
pertukaran dengan pihak-pihak seperti perusahaan, dan
kelembagaan dari aktor-aktor yang terlibat, Perluasan dari
pola-pola hubungan dan akses terhadap jaringan, serta
ekspansi terhadap segala bentuk aktivitas-aktivitas dan
bentuk-bentuk kemungkinan yang akan terjadi (Herbon,
1994 dalam Dharmawan, 2001). Bentuk pola-pola akusisi
capital yang dilakukan oleh para pengusaha hasil laut di
Mola adalah dengan mengalokasikan seluruh keuntungan
yang diperolehnya, untuk memperkuat basis modal usaha
yang paling menguntungkan. Sumber keuntungan bisa
diperoleh dengan diversifikasi usaha tidak pada usaha
perikanan tangkap dan pelayaran saja, namun usaha-usaha
non penangkapan misalnya keuntungan dari hasil toko
kelontongan yang dikelola oleh sang istri. Bentuk
pencaplokan lainnya adalah dengan menghambat laju
informasi mengenai jalur perdagangan tertentu. Namun
hal ini cenderung terjadi terhadap pengumpul teripang
dan ikan hidup di Mola yang cenderung tinggi persaingan.
Informasi diartikan mereka sebagai peluang mendapatkan
bos baru dengan harga yang lebih baik yang artinya juga
peluang keuntungan semakin besar. Selain pencaplokkan
informasi, juga terjadi pencaplokan nelayan yang terikat
pada salah satu pengumpul, dengan tujuan perebutan
hasil-hasil laut. Maka agar tidak terjadi bentuk-bentuk
pencaplokan usaha tersebut, beberapa pengumpul-
pengumpul besar memelihara jaringan sosial berbasis
hubungan seetnis Bajo, dan terkait hubungan daparanakan
dengan nelayan-nelayan produsen, dan mengikat “cabang-
cabang” usaha dengan modal pinjaman yang berbunga
rendah, dan mengikat.
Sementara di Mantigola perbedaan antara sama dan bagai sangat tegas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada konteks kesejarahan masyarakat Mantigola, yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang Kaledupa, menyebabkan batas tegas tersebut tetap terpelihara. Ini juga memiliki pengaruh jika dilihat dari sisi bentuk ekspansi bisnis. Maka bentuk jejaring bisnis cenderung berpola tertutup. Ini disebabkan karena resiko usaha yang sangat besar, maka untuk mencari “kemanan”, pola kerjasama hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait hubungan daparanakan dengannya, dan diusahakan harus orang Bajo (Sama). Dengan kondisi yang serba sulit, masyarakat Bajo Mantigola bertahan pada etika sosial kolektifisme dengan memanfaatkan sifat inklusifitas orang-orang Bajo (makna Sama), dan hubungan “daparanakan” untuk menghadapi segala bentuk-bentuk kesulitan hidup. Misalnya pada kasus pengumpul ikan hidup maka basis etika-nilai-moralitas yang dianut sang aktor kapitalis adalah etika sosial kolektivisme. Nilai-nilai daparanakan (kerabat) dan darumah (keluarga inti) mewarnai bentuk-bentuk transaksi bisnis antara nelayan sawi dengan koordinator atau punggawa, dan antara punggawa dengan sang pengumpul yang juga adalah istrinya. Keuntungan yang diterima oleh sang istri juga dinikmati oleh sang suami.
Sementara di Mantigola perbedaan antara sama dan bagai sangat tegas. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada konteks kesejarahan masyarakat Mantigola, yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang Kaledupa, menyebabkan batas tegas tersebut tetap terpelihara. Ini juga memiliki pengaruh jika dilihat dari sisi bentuk ekspansi bisnis. Maka bentuk jejaring bisnis cenderung berpola tertutup. Ini disebabkan karena resiko usaha yang sangat besar, maka untuk mencari “kemanan”, pola kerjasama hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait hubungan daparanakan dengannya, dan diusahakan harus orang Bajo (Sama). Dengan kondisi yang serba sulit, masyarakat Bajo Mantigola bertahan pada etika sosial kolektifisme dengan memanfaatkan sifat inklusifitas orang-orang Bajo (makna Sama), dan hubungan “daparanakan” untuk menghadapi segala bentuk-bentuk kesulitan hidup. Misalnya pada kasus pengumpul ikan hidup maka basis etika-nilai-moralitas yang dianut sang aktor kapitalis adalah etika sosial kolektivisme. Nilai-nilai daparanakan (kerabat) dan darumah (keluarga inti) mewarnai bentuk-bentuk transaksi bisnis antara nelayan sawi dengan koordinator atau punggawa, dan antara punggawa dengan sang pengumpul yang juga adalah istrinya. Keuntungan yang diterima oleh sang istri juga dinikmati oleh sang suami.
Perlu diketahui, bahwa sesama pengumpul di Mantigola
dan khusususnya untuk komoditas ikan hidup masih
terkait hubungan adik kakak kandung, sehingga
persaingan antara pengumpul yang satu dengan lainnya
cenderung rendah. Karena persaingan antara pengumpul
ikan hidup satu dengan lainnya sangat rendah, maka
kemungkinan terjadinya akusisi atau pencaplokan kapital
peluangnya sangat rendah. Bukannya saling mencaplok
usaha, biasanya malah mereka para pengumpul ikan
saling membantu jika masing-masing mendapat kesulitan
di dalam perjalanannya mengelola usaha.
Seperti komoditas tuna di Mola, maka dapparanakan juga menjadi kelembagaan penopang (supporting institution) bagi pengembangan usaha ikan hidup. Tidak hanya dapanakan, dambarisan dan bares tutuku juga memberikan peranan yang sangat besar bagi “bertahannya” para pengumpul ikan hidup di balik terpaan arus persaingan usaha dari pihak-pihak di luar sistem sosial mereka sendiri.
Praktik hubungan patron client antara punggawa dan sawi menjalankan fungsi ekonomi sekaligus sebagai jaminan sosial bagi nelayan sawi maupun nelayan punggawa dalam mempertahankan eksistensi posisi mereka di masyarakat. Secara umum pranata patron client merupakan sebuah kelembagaan yang lahir dari rasa saling percaya antara beberapa kelompok kelas nelayan, yakni golongan pemilik kapal sebagai patron dan golongan yang tidak bermodal, dan hanya menjual tenaga. Selain kepercayaan, resiprositas atau hubungan timbale- balik antara punggawa dengan sawi melanggengkan hubungan ini yang memiliki efek ganda pada klien, karena menyelamatkan disaat sulit menguntungkan sekaligus merugikan karena sifatnya yang eksploitatif.
Hakikat hubungan manusia bagi orang Bajo Mola dan Mantigola juga dimaknai dalam bagaimana orang-orang Bajo memaknai teman. Terkait dengan makna teman, bisa berarti pertemanan dengan orang lain di luar sistem sosialnya, diluar komunitas sama, dan daparanakannya, maupun secara inklusifitas di dalam kelompoknya. Bagi orang Mola segala bentuk kongsi antara dirinya dengan bagai, baik pihak eksportir, nelayan bagai, maupun orang sama dan daparanakannya merupakan asset bisnis sebagai alat maksimisasi profit. Namun, ada yang unik dari pemaknaan ini bagi orang-orang Bajo Mola. meskipun inklusifitas kelompok dalam bentuk pertemanan dengan orang-orang sama dianggapnya sebagai asset bisnis, tetapi memperlakukannya berbeda bila berhubungan dengan bagai. Tidak seperti berhubungan dengan bagai yang cenderung ingin kuat di dalam posisi tawar-menawar, para aktor kapitalis Mola lebih “melunak”, serta cenderung lebih longgar dengan sesama orang sama. Bentuk keunikan memandang teman bagai ini misalnya, para aktor kapitalis akan menetapkan kesepakatan hitam di atas putih terhadap bentuk kongsi. Sementara jika mereka bermitra dengan sang daparanakan, perjanjian tersebut hanya lisan. Ini merupakan bentuk unik dari proyek bersama di antara orang-orang Bajo. Tidak ada peraturan, kelompok- kelompok terbentuk dan membubarkan diri begitu saja. Ketika masing-masing sudah merasa mapan kemudian mereka bersepakat untuk berpisah, dan tidak saling
Seperti komoditas tuna di Mola, maka dapparanakan juga menjadi kelembagaan penopang (supporting institution) bagi pengembangan usaha ikan hidup. Tidak hanya dapanakan, dambarisan dan bares tutuku juga memberikan peranan yang sangat besar bagi “bertahannya” para pengumpul ikan hidup di balik terpaan arus persaingan usaha dari pihak-pihak di luar sistem sosial mereka sendiri.
Praktik hubungan patron client antara punggawa dan sawi menjalankan fungsi ekonomi sekaligus sebagai jaminan sosial bagi nelayan sawi maupun nelayan punggawa dalam mempertahankan eksistensi posisi mereka di masyarakat. Secara umum pranata patron client merupakan sebuah kelembagaan yang lahir dari rasa saling percaya antara beberapa kelompok kelas nelayan, yakni golongan pemilik kapal sebagai patron dan golongan yang tidak bermodal, dan hanya menjual tenaga. Selain kepercayaan, resiprositas atau hubungan timbale- balik antara punggawa dengan sawi melanggengkan hubungan ini yang memiliki efek ganda pada klien, karena menyelamatkan disaat sulit menguntungkan sekaligus merugikan karena sifatnya yang eksploitatif.
Hakikat hubungan manusia bagi orang Bajo Mola dan Mantigola juga dimaknai dalam bagaimana orang-orang Bajo memaknai teman. Terkait dengan makna teman, bisa berarti pertemanan dengan orang lain di luar sistem sosialnya, diluar komunitas sama, dan daparanakannya, maupun secara inklusifitas di dalam kelompoknya. Bagi orang Mola segala bentuk kongsi antara dirinya dengan bagai, baik pihak eksportir, nelayan bagai, maupun orang sama dan daparanakannya merupakan asset bisnis sebagai alat maksimisasi profit. Namun, ada yang unik dari pemaknaan ini bagi orang-orang Bajo Mola. meskipun inklusifitas kelompok dalam bentuk pertemanan dengan orang-orang sama dianggapnya sebagai asset bisnis, tetapi memperlakukannya berbeda bila berhubungan dengan bagai. Tidak seperti berhubungan dengan bagai yang cenderung ingin kuat di dalam posisi tawar-menawar, para aktor kapitalis Mola lebih “melunak”, serta cenderung lebih longgar dengan sesama orang sama. Bentuk keunikan memandang teman bagai ini misalnya, para aktor kapitalis akan menetapkan kesepakatan hitam di atas putih terhadap bentuk kongsi. Sementara jika mereka bermitra dengan sang daparanakan, perjanjian tersebut hanya lisan. Ini merupakan bentuk unik dari proyek bersama di antara orang-orang Bajo. Tidak ada peraturan, kelompok- kelompok terbentuk dan membubarkan diri begitu saja. Ketika masing-masing sudah merasa mapan kemudian mereka bersepakat untuk berpisah, dan tidak saling
menuntut harta kemitraan bersama, semuanya
terselesaikan dengan “damai”, tanpa menuntut ini dan itu.
Dan setelah itu, mereka tetap saling bekerjasama untuk
memperkuat sendi-sendi ekonomi.
Kemudian, bentuk upaya “bertahan” yang ditempuh oleh
aktor dalam membangun aliansi bisnis strategi ke luar
dengan penguasa (negara) atau aktor kekuasaan lain
sebagai bentuk rasionalitas formal adalah dengan
memberikan dukungan-dukungan politis kepada salah
satu elit yang akan bersaing dalam PILKADA 2011, yang
merupakan putra Bajo. Salah satu bentuk usaha
membangun aliansi adalah dengan membiayai posko-
posko sang putra Bajo di Mantigola. Dan membantu
pembiayaan kampanye sang putra Bajo. Menurut H. DJM,
orang-orang Mantigola saat ini seperti telur di ujung
tanduk, karena mata pencaharian semakin sulit didapat,
selain karena perputaran ekonomi di Kaledupa tidak
berjalan, sistem zonasi sangat menyulitkan nelayan-
nelayan Mantigola untuk mencari uang di Karang.
Harapan orang-orang Mantigola kini hanya berada di
tangan sang putra Bajo.
Hakikat Hidup di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Selain kegesitannya mengelola usaha orang-orang Mola, yang juga patut diperhitungkan adalah kegigihannya dalam menghadapi gelombang “cobaan” yang mencoba menggoyang fondasi bisnis orang-orang Mola. Dengan mengandalkan solidaritas yang tinggi diantara daparanakannya, secara-bersama-sama dilakukan upaya- upaya untuk mengamankan usahanya. Misalnya ketika Pengusaha Tionghoa, yang ingin mengupayakan usaha tuna di Mola, karena sistemnya yang sangat spekulatif, dan berupaya untuk mematikan perkembangan pengumpul-pengumpul tuna di Mola. Upaya-upaya
Hakikat Hidup di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Selain kegesitannya mengelola usaha orang-orang Mola, yang juga patut diperhitungkan adalah kegigihannya dalam menghadapi gelombang “cobaan” yang mencoba menggoyang fondasi bisnis orang-orang Mola. Dengan mengandalkan solidaritas yang tinggi diantara daparanakannya, secara-bersama-sama dilakukan upaya- upaya untuk mengamankan usahanya. Misalnya ketika Pengusaha Tionghoa, yang ingin mengupayakan usaha tuna di Mola, karena sistemnya yang sangat spekulatif, dan berupaya untuk mematikan perkembangan pengumpul-pengumpul tuna di Mola. Upaya-upaya
perlawanan terhadap pengusaha-pengusaha Tionghoa
menurut Die dalam Tan (1981) juga dilakukan oleh
perkumpulan koperasi pengusaha-pengusaha pribumi
lokal di Pekalongan dan Jepara.
Menurut Die dalam Tan (1981), Di daerah-daerah orang- orang Minangkabau di Pantai Barat Sumatera, dan orang Melayu di Sumatera ; suku-suku ini terkenal karena bakat dagang mereka, peranan orang Tionghoa relative tidak menonjol. Ini menunjukkan bahwa pedagang Tionghoa hanya terdapat di tempat-tempat dimana jasa-jasanya dibutuhkan, sehingga mereka sama sekali tidak dapat menghalangi kesempatan orang Indonesia untuk maju di dalam bidang ini.
Cobaan berikutnya adalah ketika usaha tuna yang dikembangkan oleh orang-orang Mola, terancam gulung tikar karena adanya kebijakan global mengenai sertifikasi produk-produk tuna yang akan diekspor ke Eropa harus bebas dari bakteri Salmonella. Maka untuk mengantisipasi kerugian yang dialami tuna dikirim bukan lagi dalam bentuk gelondongan, melainkan dalam bentuk potongan-potongan daging tuna yang telah di loing. Loing sendiri baru dilakukan oleh pengusaha tuna semenjak tahun 2008. Meloing diharuskan oleh setiap perusahaan karena adanya sertifikasi daging ikan tuna yang harus bebas dari salmonella. Masuknya teknologi ini, menurut pengakuan para pengusaha tuna, juga meminimalisasi kerugian, karena dengan pengiriman dalam bentuk gelondongan tuna, resiko kerusakan tuna menjadi sangat tinggi.
Upaya untuk semakin memperkokoh usaha para usahawan Bajo Mola adalah juga dengan membangun suatu aliansi bisnis ke luar dengan penguasa (negara) atau aktor kekuasaan lain sebagai bentuk rasionalitas formal sang aktor. Misalnya para pengumpul tuna salah satu bentuk usaha membangun aliansi adalah dengan berkoalisi dan mendukung salah satu calon Bupati Wakatobi dalam Pilkada tahun ini adalah agar supaya usaha hasil laut yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo khususnya tuna bisa lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah.
Sementara, bagi orang Bajo Mantigola hakekat hidup erat dengan keberadaan laut di dalam kehidupannya. Laut mengarahkan masyarakat Bajo untuk tunduk pada lingkungan, dan harus terus menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan air laut. Hidup bagi orang-orang Bajo harus dibina terus menerus, terpadu, dan rukun. Maka selama laut dimiliki utuh oleh mereka, maka kehidupan akan berjalan baik. Sebab laut penjamin kehidupan orang-orang Bajo sekaligus sebagai identitas mereka. Memaknai hidup erat hubungannya dengan bagaimana para aktor kapitalis Bajo memaknai “usaha”. Dari penjelasan sebelumnya digambarkan bahwa usaha dimaknai oleh orang-orang Bajo Mola sebagai upaya menghasilkan keuntungan atau maksimisasi profit. Keuntungan tersebut diupayakan sebagai investasi jangka panjang. Sehingga beragam bentuk individualisme yang diarahkan untuk memperkaya diri sendiri, dan dahulu berusaha dihindari oleh orang-orang Bajo, dianggap sebagai suatu bentuk kewajaran. Aktor kapitalis Mola menunjukkan masyarakat Bajo bisa menjadi orang “berada”, kemiskinan dan kesederhanaan bukan lagi
Menurut Die dalam Tan (1981), Di daerah-daerah orang- orang Minangkabau di Pantai Barat Sumatera, dan orang Melayu di Sumatera ; suku-suku ini terkenal karena bakat dagang mereka, peranan orang Tionghoa relative tidak menonjol. Ini menunjukkan bahwa pedagang Tionghoa hanya terdapat di tempat-tempat dimana jasa-jasanya dibutuhkan, sehingga mereka sama sekali tidak dapat menghalangi kesempatan orang Indonesia untuk maju di dalam bidang ini.
Cobaan berikutnya adalah ketika usaha tuna yang dikembangkan oleh orang-orang Mola, terancam gulung tikar karena adanya kebijakan global mengenai sertifikasi produk-produk tuna yang akan diekspor ke Eropa harus bebas dari bakteri Salmonella. Maka untuk mengantisipasi kerugian yang dialami tuna dikirim bukan lagi dalam bentuk gelondongan, melainkan dalam bentuk potongan-potongan daging tuna yang telah di loing. Loing sendiri baru dilakukan oleh pengusaha tuna semenjak tahun 2008. Meloing diharuskan oleh setiap perusahaan karena adanya sertifikasi daging ikan tuna yang harus bebas dari salmonella. Masuknya teknologi ini, menurut pengakuan para pengusaha tuna, juga meminimalisasi kerugian, karena dengan pengiriman dalam bentuk gelondongan tuna, resiko kerusakan tuna menjadi sangat tinggi.
Upaya untuk semakin memperkokoh usaha para usahawan Bajo Mola adalah juga dengan membangun suatu aliansi bisnis ke luar dengan penguasa (negara) atau aktor kekuasaan lain sebagai bentuk rasionalitas formal sang aktor. Misalnya para pengumpul tuna salah satu bentuk usaha membangun aliansi adalah dengan berkoalisi dan mendukung salah satu calon Bupati Wakatobi dalam Pilkada tahun ini adalah agar supaya usaha hasil laut yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo khususnya tuna bisa lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah.
Sementara, bagi orang Bajo Mantigola hakekat hidup erat dengan keberadaan laut di dalam kehidupannya. Laut mengarahkan masyarakat Bajo untuk tunduk pada lingkungan, dan harus terus menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan air laut. Hidup bagi orang-orang Bajo harus dibina terus menerus, terpadu, dan rukun. Maka selama laut dimiliki utuh oleh mereka, maka kehidupan akan berjalan baik. Sebab laut penjamin kehidupan orang-orang Bajo sekaligus sebagai identitas mereka. Memaknai hidup erat hubungannya dengan bagaimana para aktor kapitalis Bajo memaknai “usaha”. Dari penjelasan sebelumnya digambarkan bahwa usaha dimaknai oleh orang-orang Bajo Mola sebagai upaya menghasilkan keuntungan atau maksimisasi profit. Keuntungan tersebut diupayakan sebagai investasi jangka panjang. Sehingga beragam bentuk individualisme yang diarahkan untuk memperkaya diri sendiri, dan dahulu berusaha dihindari oleh orang-orang Bajo, dianggap sebagai suatu bentuk kewajaran. Aktor kapitalis Mola menunjukkan masyarakat Bajo bisa menjadi orang “berada”, kemiskinan dan kesederhanaan bukan lagi
menjadi ciri khas keberadaan orang-orang Bajo. Namun,
kecenderungan ini rupanya melegalkan segala bentuk
penyerapan keuntungan yang berlebih atas nama
hubungan persaudaraan orang-orang Bajo. Sehingga
adalah kewajaran jika orang Mola menghambat laju
kemajuan Mantigola, melalui mekanisme ketergantungan
yang tinggi dengan mereka.
Sementara bagi para aktor di Mantigola, usaha dimaknai
sebagai jalan untuk mempertahankan dirinya dari
beragam bentuk guncangan-guncangan sosial. Usaha
dimaknai sebagai cara untuk mencari nafkah. Berbeda
dengan orang-orang Mola yang memaknai usaha sebagai
jalan untuk akumulasi kapital, maka usaha sebagai upaya
bertahan hidup. Usaha juga tidak serta merta untuk
membeli barang-barang yang sepertinya tidak perlu,
karena mereka telah terbiasa jarang memiliki harta benda.
Pada akhirnya, yang cenderung nampak adalah bentuk kepasrahan orang-orang Bajo Mantigola. Bagi mereka semakin lama hidup mereka semakin sulit, dan mereka juga kebingungan dengan ketidakberpihakan pemerintah terhadap mereka. Semua ruang gerak orang-orang Bajo Mantigola semakin sempit, dan mereka tidak diberikan alternative sebagai pengganti ruang-ruang yang dipersempit tersebut. Misalnya, jika mereka tidak boleh mengambil kayu bakau untuk dijadikan kayu bakar, maka menurut orang Bajo Mantigola adalah tugas pemerintah untuk membantu mencarikan jalan keluar dari permasalahan tersebut, yang terwujud dalam sikap kepasrahannya terhadap Tuhan atas segala bentuk kesulitan hidup yang dialaminya. Selain kepasrahan terhadap nasib, juga terjadi ketidakmampuan bersaing juga terjadi dengan pengusaha-pengusaha ikan di Mantigola dengan bos-bos eksportir yang datang langsung untuk bertransaksi dengan nelayan produsen tanpa melalui pedagang perantara di Mantigola.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika pengumpul Mola berani menjadi “kaki tangan” eksportir ikan Hidup, mengapa pengumpul di Mantigola tidak melakukan hal yang sama dengan daparanakannya di Mola. Jawabannya adalah karena adanya sifat dasar orang-orang Mantigola yang cenderung “takut” untuk mengambil resiko terhadap konsekuensi yang akan mereka peroleh, jika dikemudian hari terjadi sesuatu yang berhubungan dengan pelanggaran hukum. Sikap yang “penakut” ini, rasanya kontras dengan pemaknaan kita terhadap suku bajo yang dahulu hidup berpindah-pindah, dan “berani” mengarungi lautan beserta keganasannya. Sifat penakut ini muncul diduga sebagai suatu bentuk adaptasi orang-orang Bajo Mantigola karena secara kontekstual hubungan yang diskriminatif terbentuk antara orang-orang Kaledupa (Bagai Kaledupa) dengan orang- orang Bajo (Sama) sejak awal kedatangan suku Bajo di Pulau Kaledupa. Selain itu juga, pengalaman menghadapi Jagawana, dan beberapa kali tersandung masalah hukum dan misalnya pengalaman para pengusaha penyu, dan ikan kerapu hidup yang suaminya di kurung, juga mempengaruhi agresifitas dalam berusaha.
Dan alasan terakhir, terkait dengan kepemilikan modal usaha yakni uang yang terbatas, sementara usaha penyu dan ikan napoleon yang keuntungannya akan dijadikan investasi sudah tidak diusahakan karena terkait masalah
Pada akhirnya, yang cenderung nampak adalah bentuk kepasrahan orang-orang Bajo Mantigola. Bagi mereka semakin lama hidup mereka semakin sulit, dan mereka juga kebingungan dengan ketidakberpihakan pemerintah terhadap mereka. Semua ruang gerak orang-orang Bajo Mantigola semakin sempit, dan mereka tidak diberikan alternative sebagai pengganti ruang-ruang yang dipersempit tersebut. Misalnya, jika mereka tidak boleh mengambil kayu bakau untuk dijadikan kayu bakar, maka menurut orang Bajo Mantigola adalah tugas pemerintah untuk membantu mencarikan jalan keluar dari permasalahan tersebut, yang terwujud dalam sikap kepasrahannya terhadap Tuhan atas segala bentuk kesulitan hidup yang dialaminya. Selain kepasrahan terhadap nasib, juga terjadi ketidakmampuan bersaing juga terjadi dengan pengusaha-pengusaha ikan di Mantigola dengan bos-bos eksportir yang datang langsung untuk bertransaksi dengan nelayan produsen tanpa melalui pedagang perantara di Mantigola.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika pengumpul Mola berani menjadi “kaki tangan” eksportir ikan Hidup, mengapa pengumpul di Mantigola tidak melakukan hal yang sama dengan daparanakannya di Mola. Jawabannya adalah karena adanya sifat dasar orang-orang Mantigola yang cenderung “takut” untuk mengambil resiko terhadap konsekuensi yang akan mereka peroleh, jika dikemudian hari terjadi sesuatu yang berhubungan dengan pelanggaran hukum. Sikap yang “penakut” ini, rasanya kontras dengan pemaknaan kita terhadap suku bajo yang dahulu hidup berpindah-pindah, dan “berani” mengarungi lautan beserta keganasannya. Sifat penakut ini muncul diduga sebagai suatu bentuk adaptasi orang-orang Bajo Mantigola karena secara kontekstual hubungan yang diskriminatif terbentuk antara orang-orang Kaledupa (Bagai Kaledupa) dengan orang- orang Bajo (Sama) sejak awal kedatangan suku Bajo di Pulau Kaledupa. Selain itu juga, pengalaman menghadapi Jagawana, dan beberapa kali tersandung masalah hukum dan misalnya pengalaman para pengusaha penyu, dan ikan kerapu hidup yang suaminya di kurung, juga mempengaruhi agresifitas dalam berusaha.
Dan alasan terakhir, terkait dengan kepemilikan modal usaha yakni uang yang terbatas, sementara usaha penyu dan ikan napoleon yang keuntungannya akan dijadikan investasi sudah tidak diusahakan karena terkait masalah
pelarangan dalam kegiatan penangkapan maupun
penjualan.
Hakekat Karya di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Beberapa kelompok masyarakat ada yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk bertahan hidup saja. Ada pula yang memandang bahwa bekerja dapat meningkatkan status. Dan ada pula yang menganggap bahwa kerja untuk menambah karya yang lainnya. Pada saat masyarakat Bajo hidup dalam kondisi berpindah- pindah, kerja bagi mereka adalah untuk bertahan hidup dari kerasnya gelombang lautan. Saat ini bagi masyarakat Bajo khususnya Mantigola pemaknaan tersebut tidak banyak berubah. Segala bentuk tekanan yang mengancam kehidupannya, antara lain perlakuan diskriminatif dari masyarakat Kaledupa, mekanisme ketergantungan yang diciptakan sendiri oleh orang-orang Bajo Mola dalam bentuk pinjaman modal usaha yang sifatnya “terikat”, semakin menyempitnya ruang gerak nelayan Bajo Mantigola dalam mencari nafkah, karena adanya zonasi taman nasional, dan berlakunya MoU Box 1974, memperlihatkan tidak berubahnya pemaknaan mereka mengenai hakekat kerja sebagai upaya untuk usaha bertahan hidup.
Makna kerja terkait erat dengan bagaimana orang Bajo baik Mola dan Mantigola memandang modal. Bagi orang- orang Mola, modal merupakan suatu investasi jangka panjang, maka para aktor kapitalis lokal di Mola berupaya agar modal semakin berkembang. Untuk menyokong modal yang dibutuhkan demikian besarnya, maka tidak ada kata “kekosongan” usaha, segala bentuk usaha-usaha perikanan diupayakan untuk mengisi kantong-kantong modal yang akan diputarkan berikutnya.
Modal bagi aktor di Mantigola dimaknai sebagai alat untuk mempertahankan usaha yang telah ada. Sementara untuk mengembangkan pada usaha lain yang menawarkan keuntungan, akan tetapi ke depan menghadapi resiko akan ditolak mentah-mentah. Bagi para aktor di Mantigola modal juga dipandang bukan saja untuk usaha, melainkan modal juga dipersiapkan untuk menghadapi pihak-pihak tertentu yang sekiranya berupaya untuk menghalangi mereka dalam mencari nafkah. Modal digunakan juga untuk membiayai pembebasan sang suami yang ditahan oleh pihak aparat kemanan, karena melanggar aturan taman nasional.
Tidak dipungkiri juga oleh orang-orang Bajo Mantigola, bahwa jika pada saat mereka melakukan kegiatan penangkapan di karang, kemudian dijaring tersangkut penyu, penyu tidak dilepas, melainkan dibawa pulang, kemudian dijual. Hal itu dilakukan semata-mata karena kesulitan yang dihadapi orang-orang Bajo, dan dianggap sebagai sebuah keberuntungan, karena artinya akan nada uang yang dibawa pulang untuk pulang. Dan mereka menyadari, tindakan yang dilakukannya jika diketahui oleh jagawana akan dikategorikan sebagai pencurian. Namun bagi mereka, itu bukanlah mencuri, karena laut milik mereka. Mencuri bagi orang-orang Bajo Mola dipersepsikan dengan memasuki rumah orang lain, tanpa seizing pemilik rumah, dan diam-diam mengambil harta milik orang lain. Sementara karang adalah milik orang
Hakekat Karya di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Beberapa kelompok masyarakat ada yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk bertahan hidup saja. Ada pula yang memandang bahwa bekerja dapat meningkatkan status. Dan ada pula yang menganggap bahwa kerja untuk menambah karya yang lainnya. Pada saat masyarakat Bajo hidup dalam kondisi berpindah- pindah, kerja bagi mereka adalah untuk bertahan hidup dari kerasnya gelombang lautan. Saat ini bagi masyarakat Bajo khususnya Mantigola pemaknaan tersebut tidak banyak berubah. Segala bentuk tekanan yang mengancam kehidupannya, antara lain perlakuan diskriminatif dari masyarakat Kaledupa, mekanisme ketergantungan yang diciptakan sendiri oleh orang-orang Bajo Mola dalam bentuk pinjaman modal usaha yang sifatnya “terikat”, semakin menyempitnya ruang gerak nelayan Bajo Mantigola dalam mencari nafkah, karena adanya zonasi taman nasional, dan berlakunya MoU Box 1974, memperlihatkan tidak berubahnya pemaknaan mereka mengenai hakekat kerja sebagai upaya untuk usaha bertahan hidup.
Makna kerja terkait erat dengan bagaimana orang Bajo baik Mola dan Mantigola memandang modal. Bagi orang- orang Mola, modal merupakan suatu investasi jangka panjang, maka para aktor kapitalis lokal di Mola berupaya agar modal semakin berkembang. Untuk menyokong modal yang dibutuhkan demikian besarnya, maka tidak ada kata “kekosongan” usaha, segala bentuk usaha-usaha perikanan diupayakan untuk mengisi kantong-kantong modal yang akan diputarkan berikutnya.
Modal bagi aktor di Mantigola dimaknai sebagai alat untuk mempertahankan usaha yang telah ada. Sementara untuk mengembangkan pada usaha lain yang menawarkan keuntungan, akan tetapi ke depan menghadapi resiko akan ditolak mentah-mentah. Bagi para aktor di Mantigola modal juga dipandang bukan saja untuk usaha, melainkan modal juga dipersiapkan untuk menghadapi pihak-pihak tertentu yang sekiranya berupaya untuk menghalangi mereka dalam mencari nafkah. Modal digunakan juga untuk membiayai pembebasan sang suami yang ditahan oleh pihak aparat kemanan, karena melanggar aturan taman nasional.
Tidak dipungkiri juga oleh orang-orang Bajo Mantigola, bahwa jika pada saat mereka melakukan kegiatan penangkapan di karang, kemudian dijaring tersangkut penyu, penyu tidak dilepas, melainkan dibawa pulang, kemudian dijual. Hal itu dilakukan semata-mata karena kesulitan yang dihadapi orang-orang Bajo, dan dianggap sebagai sebuah keberuntungan, karena artinya akan nada uang yang dibawa pulang untuk pulang. Dan mereka menyadari, tindakan yang dilakukannya jika diketahui oleh jagawana akan dikategorikan sebagai pencurian. Namun bagi mereka, itu bukanlah mencuri, karena laut milik mereka. Mencuri bagi orang-orang Bajo Mola dipersepsikan dengan memasuki rumah orang lain, tanpa seizing pemilik rumah, dan diam-diam mengambil harta milik orang lain. Sementara karang adalah milik orang
Bajo, jadi jika penyu maupun kima yang terlarang di
karang diambil oleh orang Bajo diartikan oleh orang di
luar sistem social Bajo sebagai pencurian, maka artinya
orang Bajo mencuri di dalam rumah sendiri. Menurut
Scott (1985), apa yang dilakukan oleh nelayan Bajo
Mantigola tersebut sebagai suatu bentuk perlawanan yang
sifatnya informal, perorangan, anonim, dan tujuan
utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang
marjinal.
Persepsi Manusia terhadap Waktu di Dalam
Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Orang-orang Bajo dengan hidupnya yang dahulu, menganggap bahwa apa yang didapat hari ini, juga dihabiskan hari ini juga. Ini karena bagi mereka kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Bagi mereka, menyimpan sesuatu, apalagi uang, dan akan diupayakan kembali tidak dihiraukan. Orientasi mereka bukan pada masa depan melainkan pada masa kini. Saat ini orientasi nilai yang hanya memandang masa kini saja, memang cenderung masih dilakoni oleh orang-orang Bajo, namun ini dianut oleh orang-orang Bajo dari kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi, misalnya nelayan kecil, atau nelayan sawi. Orientasi ini sebenarnya dikeluhkan oleh beberapa pengusaha di Mola, keprihatinan mereka terhadap nelayan kecil yang tidak berkembang kualitas hidupnya karena sifat kekurang pandaian mereka dalam mengelola keuangan. Menurut Zacot (2008), kecepatan orang-orang Bajo menghabiskan makanan dan mencari makan tidak lah sama. Pada saat makan atau bila seseorang tiba-tiba ingin makan tetapi tidak ada makanan yang tersedia di rumah, ia akan pergi mencarinya di laut atau di desa. Jika tidak ada seekor pun ditangkap atau bila tidak ada uang ia akan menunggu. Sebaliknya, bila makanan berlimpah-limpah ia mendapat makanan (dengan daya upayanya sendiri atau dengan menjual jasa) atau seseorang memberi makanan kepadanya, maka makanan ini dengan sendirinya dihabiskan. Orang-orang Bajo seperti ini memandang segala bentuk karya hanya sebagai alat untuk menafkahi hidupnya.
Pemaknaan terhadap waktu ini dipengaruhi oleh ketidakpastian orang-orang Bajo untuk mendapatkan makanan, dan ketidakmungkinan untuk menyimpannya. Menurut Zacot (2008) sifat ini agaknya juga disebabkan pada kenyataan bahwa orang Bajo mendapat, menunggu dan menghabiskan makanannya secara tersendiri menurut irama yang tidak tetap. Semua dapat dijual, semua dapat dibeli. Ini merupakan proyek bebas, suatu prakarsa. Harga ikan dan bahan makanan lainnya turun naik sesuai dengan banyaknya ikan. Sehingga orang Bajo tidak mempunyai sistem ekonomi yang diterapkan pada desa atau pada sebagian penduduk. Tidak ada peraturan yang dibuat sebelumnya, yang secara tetap mengatur berkumpulnya orang-orang dengan tujuan social dan ekonomi.
Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Bajo Mola, karena perkembangan masyarakat dan penetrasi kapitalisme dari orang-orang Mandati dan gempuran kapitalisme global memunculkan pemikiran-pemikiran rasionalitas terhadap ekonomi dan uang, dan pada akhirnya menciptakan orang-orang Bajo Mola yang berjiwa wirausaha dan yang pandai mengelola keuangan. Yang tidak berfikir pada masa kini saja melainkan juga
Orang-orang Bajo dengan hidupnya yang dahulu, menganggap bahwa apa yang didapat hari ini, juga dihabiskan hari ini juga. Ini karena bagi mereka kehidupan penuh dengan ketidakpastian. Bagi mereka, menyimpan sesuatu, apalagi uang, dan akan diupayakan kembali tidak dihiraukan. Orientasi mereka bukan pada masa depan melainkan pada masa kini. Saat ini orientasi nilai yang hanya memandang masa kini saja, memang cenderung masih dilakoni oleh orang-orang Bajo, namun ini dianut oleh orang-orang Bajo dari kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi, misalnya nelayan kecil, atau nelayan sawi. Orientasi ini sebenarnya dikeluhkan oleh beberapa pengusaha di Mola, keprihatinan mereka terhadap nelayan kecil yang tidak berkembang kualitas hidupnya karena sifat kekurang pandaian mereka dalam mengelola keuangan. Menurut Zacot (2008), kecepatan orang-orang Bajo menghabiskan makanan dan mencari makan tidak lah sama. Pada saat makan atau bila seseorang tiba-tiba ingin makan tetapi tidak ada makanan yang tersedia di rumah, ia akan pergi mencarinya di laut atau di desa. Jika tidak ada seekor pun ditangkap atau bila tidak ada uang ia akan menunggu. Sebaliknya, bila makanan berlimpah-limpah ia mendapat makanan (dengan daya upayanya sendiri atau dengan menjual jasa) atau seseorang memberi makanan kepadanya, maka makanan ini dengan sendirinya dihabiskan. Orang-orang Bajo seperti ini memandang segala bentuk karya hanya sebagai alat untuk menafkahi hidupnya.
Pemaknaan terhadap waktu ini dipengaruhi oleh ketidakpastian orang-orang Bajo untuk mendapatkan makanan, dan ketidakmungkinan untuk menyimpannya. Menurut Zacot (2008) sifat ini agaknya juga disebabkan pada kenyataan bahwa orang Bajo mendapat, menunggu dan menghabiskan makanannya secara tersendiri menurut irama yang tidak tetap. Semua dapat dijual, semua dapat dibeli. Ini merupakan proyek bebas, suatu prakarsa. Harga ikan dan bahan makanan lainnya turun naik sesuai dengan banyaknya ikan. Sehingga orang Bajo tidak mempunyai sistem ekonomi yang diterapkan pada desa atau pada sebagian penduduk. Tidak ada peraturan yang dibuat sebelumnya, yang secara tetap mengatur berkumpulnya orang-orang dengan tujuan social dan ekonomi.
Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Bajo Mola, karena perkembangan masyarakat dan penetrasi kapitalisme dari orang-orang Mandati dan gempuran kapitalisme global memunculkan pemikiran-pemikiran rasionalitas terhadap ekonomi dan uang, dan pada akhirnya menciptakan orang-orang Bajo Mola yang berjiwa wirausaha dan yang pandai mengelola keuangan. Yang tidak berfikir pada masa kini saja melainkan juga
berfikir pada masa depan. Meskipun nilai-nilai tertentu
tetap mereka pertahankan. Beberapa orang-orang Bajo
yang seperti ini menganggap bahwa karya yang
dihasilkan akan digunakan untuk melakukan ekspansi
kapital dengan menginvestasikan keuntungan untuk
mengembangkan usaha lainnya. Sementara, para
pengusaha Mantigola, yang kekurangan modal, lebih
cenderung melihat segala bentuk peluang hanya untuk
orientasi pada masa kini. Segala bentuk keuntungan
dipersiapkan oleh pengusaha di Mantigola untuk bertahan
Dari gambaran orientasi nilai di atas, antara Bajo Mola
dan Bajo Mantigola menunjukkan bahwa nilai (values)
dari wujud pemaknaan terhadap hidup, karya, persepsi
terhadap waktu, terhadap alam (worldview), dan
hubungan manusia dengan manusia, memberikan warna
tersendiri terhadap bentuk-bentuk kapitalisme local.
Walaupun berasal dari etnis yang sama, namun karena
gerusan nilai-nilai materialisme, maka warna kapitalisme
sebuah perubahan social yang juga sangat berbeda. Di
satu sisi Mantigola yang masih mempertahankan ekonomi
pra kapitalismenya, sementara Mola yang progresif dan
optimistic menerima ekonomi kapitalis, namun masih
mempertahankan nilai-nilai social tertentu, yang rupanya
memberikan warna “lokal” terhadap kapitalisme yang
mereka bangun.
Rasionalitas di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo
Mola dan Mantigola
Rasionalitas bagi Weber dalam Turner (1991)
ditunjukkan melalui prinsip-prinsip kalkulabilitas dan
control yang sistematis atas semua aspek kehidupan
manusia berdasarkan peraturan-peraturan dan ajaran-
ajaran yang umum, yang mengesampingkan daya tarik
norma-norma tradisional atau antusiasme kharismatis.
Sehingga rasionalitas dianggap Weber memberikan
kemungkinan pengendalian yang efektif terhadap alam
48 | Wiyanti, Nur Isiyana. et. al. Kapitalisme Lokal Suku Bajo
dan masyarakat, membebaskannya dari kegelisahan-
kegelisahan dunia yang tidak dapat diramalkan dan
melepaskannya dari kekuatan gaib.
Berpijak pada pemikiran Weber, maka pemahaman terhadap munculnya aktor kapitalis lokal Bajo berfokus pada penguraian sikap-sikap, motif-motif serta pandangan-pandangan yang terkenal dari aktor sosial yang saling mempengaruhi dalam situasi-situasi yang mempunyai maksud. Sebuah motif menurut tafsiran sosiologi, adalah suatu deskripsi verbal yang memberikan gambaran-gambaran, penjelasan atau dasar kebenaran tingkah laku yang dilakukan oleh aktor sosial. Motif- motif adalah jawaban-jawaban tertentu yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai alasan seseorang melakukan sesuatu. Menurut Turner (1991), untuk memahami motif-motif, kita harus menganalisa konteks-konteks sosial di dalam mana mereka berada dan lebih lanjut kita harus mengetahui bahwa motif-motif yang subyektif dari hubungan antar manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial makro pada keadaan kultural dan ekonomi dari masyarakat-masyarakat.
Menilik perbedaan strategi bisnis yang diterapkan oleh para pengusaha di Mola, dan Mantigola; Mola cenderung pada perhitungan ekonomi untuk keberhasilan usaha dan mendukung akumulasi kapital, sementara Mantigola menitik beratkan pada ketergantungan terhadap hubungan-hubungan social daparanakan (kin relationship) baik sebagai tenaga kerja, dan sebagai katup penyelamat usaha menegaskan ada perbedaan rasionalitas dalam memandang usaha dan strateginya. Merujuk pada teori rasionalitas Weberian yang telah diungkapkan pada bab tinjauan pustaka sebelumnya. Bahwa menurut Weber, rasionalitas terbadi atas dua golongan besar. Antara lain rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala bentuk tindakan-tindakan ekonomi kapitalistik, dan rasionalitas berorientasi nilai (substantive rationality) yang melandasi tindakan-tindakan ekonomi pra kapitalistik. Berpijak pada teori tersebut, maka rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala bentuk strategi bisnis untuk usaha maksimisasi profit yang cenderung ekspansif, berani mengambil resiko, agresif, terbuka dengan beragam inovasi dan bentuk kemitraan dengan eksportir, dalam bentuk rasionalitas praktis pada actor kapitalistik Bajo di Mola. Rasional praktis sendiri mewajibkan hitung- hitungan ekonomi, dan akumulasi kapital untuk mobilitas sosial vertikal melalui prestasi usaha (achievement). Namun, bukan berarti aktor kapitalis di Mola melupakan segala bentuk rasionalitas substantif. Rasionalitas ini juga cenderung masih “bercokol” pada ranah pemaknaan para aktor kapitalis tersebut. Di sinilah titik konflik rasionalitas terjadi, ini terkait erat dengan pilihan setiap aktor dalam menggunakan tenaga nelayan. Apakah menggunakan nelayan terikat yakni orang-orang darat yang menawarkan kemudahan dan keuntungan, ataukah menggunakan nelayan Bajo yang sifatnya terikat, yang malah memberikan kesulitan bagi pengusaha.
Namun, kewajiban-kewajiban sosial yang melekat pada orang-orang kaya Bajo, menuntut terjadinya ikatan kerjasama dengan nelayan-nelayan kecil Bajo, meskipun
Berpijak pada pemikiran Weber, maka pemahaman terhadap munculnya aktor kapitalis lokal Bajo berfokus pada penguraian sikap-sikap, motif-motif serta pandangan-pandangan yang terkenal dari aktor sosial yang saling mempengaruhi dalam situasi-situasi yang mempunyai maksud. Sebuah motif menurut tafsiran sosiologi, adalah suatu deskripsi verbal yang memberikan gambaran-gambaran, penjelasan atau dasar kebenaran tingkah laku yang dilakukan oleh aktor sosial. Motif- motif adalah jawaban-jawaban tertentu yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai alasan seseorang melakukan sesuatu. Menurut Turner (1991), untuk memahami motif-motif, kita harus menganalisa konteks-konteks sosial di dalam mana mereka berada dan lebih lanjut kita harus mengetahui bahwa motif-motif yang subyektif dari hubungan antar manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial makro pada keadaan kultural dan ekonomi dari masyarakat-masyarakat.
Menilik perbedaan strategi bisnis yang diterapkan oleh para pengusaha di Mola, dan Mantigola; Mola cenderung pada perhitungan ekonomi untuk keberhasilan usaha dan mendukung akumulasi kapital, sementara Mantigola menitik beratkan pada ketergantungan terhadap hubungan-hubungan social daparanakan (kin relationship) baik sebagai tenaga kerja, dan sebagai katup penyelamat usaha menegaskan ada perbedaan rasionalitas dalam memandang usaha dan strateginya. Merujuk pada teori rasionalitas Weberian yang telah diungkapkan pada bab tinjauan pustaka sebelumnya. Bahwa menurut Weber, rasionalitas terbadi atas dua golongan besar. Antara lain rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala bentuk tindakan-tindakan ekonomi kapitalistik, dan rasionalitas berorientasi nilai (substantive rationality) yang melandasi tindakan-tindakan ekonomi pra kapitalistik. Berpijak pada teori tersebut, maka rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala bentuk strategi bisnis untuk usaha maksimisasi profit yang cenderung ekspansif, berani mengambil resiko, agresif, terbuka dengan beragam inovasi dan bentuk kemitraan dengan eksportir, dalam bentuk rasionalitas praktis pada actor kapitalistik Bajo di Mola. Rasional praktis sendiri mewajibkan hitung- hitungan ekonomi, dan akumulasi kapital untuk mobilitas sosial vertikal melalui prestasi usaha (achievement). Namun, bukan berarti aktor kapitalis di Mola melupakan segala bentuk rasionalitas substantif. Rasionalitas ini juga cenderung masih “bercokol” pada ranah pemaknaan para aktor kapitalis tersebut. Di sinilah titik konflik rasionalitas terjadi, ini terkait erat dengan pilihan setiap aktor dalam menggunakan tenaga nelayan. Apakah menggunakan nelayan terikat yakni orang-orang darat yang menawarkan kemudahan dan keuntungan, ataukah menggunakan nelayan Bajo yang sifatnya terikat, yang malah memberikan kesulitan bagi pengusaha.
Namun, kewajiban-kewajiban sosial yang melekat pada orang-orang kaya Bajo, menuntut terjadinya ikatan kerjasama dengan nelayan-nelayan kecil Bajo, meskipun
dalam kerangka rasionalitas ekonomi sang aktor kapitalis
Bajo Mola mengatakan tindakan ini cenderung tidak
menguntungkan. Ini juga membuktikan bahwa terjadi
“pertarungan” antara rasionalitas ekonomi sang aktor
yang merujuk pada akumulasi surplus secara individu,
dengan rasionalitas moral sosial, yakni menjaga
solidaritas diantara orang-orang Sama. Merujuk Weber
(Johnson, 1998), konflik rasionalitas ini terjadi karena
tuntutan efisiensi yang terus meningkat, dan harus dibayar
tinggi secara psikologis oleh sang aktor. Apakah harus
mengorbankan spontanistasnya, hubungan personalnya,
atau kah harus mengorbankan keuntungan ekonomi yang
berlimpah?.
Fakta ini sebenarnya sesuai dengan temuan Schrauwers dalam Li (2002) mengenai sifat ekonomi moral masyarakat To Pamona yang hidup di daerah pinggiran dataran tinggi Sulawesi Tengah. Kalangan Patron memberikan jaminan kebutuhan hidup kepada petani kecil, ini dilakukan juga sebagai suatu bentuk kewajiban patron sebagai “orang yang bernasib beruntung” di komunitasnya. Strategi ekonomi moral ini dianggap sebagai upaya-upaya dalam meredakan ketegangan antar kelas; cara untuk mendapatkan jaminan subsistensi tersebut membatasi sikap berontak.
Sementara bagi pengusaha Mantigola lebih condong kepada rasionalitas substantive (berorientasi nilai) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kolektifitas “egalitarianisme” yang menitikberatkan pada ketergantungan terhadap hubungan daparanakan baik sebagai pemberi modal maupun sebagai tenaga kerja meskipun sifatnya cenderung mengikat dan merugikan dari sisi ekonomi. Sehingga dengan dasar rasionalitas tersebut, strategi bisnis sebagai dasar maksimisasi profit yang dikembangkan cenderung lebih berhati-hati, menghindari bentuk-bentuk kemitraan dengan eksportir, karena takut akan segala bentuk resiko, terikat dengan pemilik modal, dan cenderung defensive atau bertahan.
Untuk pola-pola ekspansi bisnis, para aktor kapitalis di Mola cenderung dilatarbelakangi oleh rasional instrumental dengan menitik beratkan pada rasionalitas praktis. Rasionalitas ini kemudian memacu sang aktor untuk semakin giat berekspansi. Meskipun ekspansi yang dilakukan cenderung untuk memperkuat usaha penangkapan, melalui strategi nafkah diversifikasi usaha baik di sector pelayaran, khususnya jasa angkutan laut, perbengkelan kapal, maupun usaha-usaha non perikanan seperti usaha warung kelontongan.
Sebaliknya di Mantigola, akibat semakin menguatnya rasionalitas substantif, hingga munculnya gejala rasionalitas transedental, yang diidentikkan dengan munculnya gejala “keputusasaan”, dan pemasrahan akan nasib hidup kepada Yang Maha Kuasa. Selain karena kuatnya nilai-nilai kolektifitas antara sesama orang Bajo, yang telah dibahas sebelumnya pada bab lima dalam gambaran umum konteks kesejarahan orang-orang Bajo Mantigola, bahwa penguatan nilai-nilai kolektifitas tersebut merupakan hasil adaptasi dari orang-orang mantigola terhadap kondisi sosial ketika menghadapi orang-orang Kaledupa, juga karena beragam bentuk tekanan-tekanan terhadap ruang-ruang nafkah, yakni laut sebagai sumber nafkah orang Bajo Mantigola. Maka
Fakta ini sebenarnya sesuai dengan temuan Schrauwers dalam Li (2002) mengenai sifat ekonomi moral masyarakat To Pamona yang hidup di daerah pinggiran dataran tinggi Sulawesi Tengah. Kalangan Patron memberikan jaminan kebutuhan hidup kepada petani kecil, ini dilakukan juga sebagai suatu bentuk kewajiban patron sebagai “orang yang bernasib beruntung” di komunitasnya. Strategi ekonomi moral ini dianggap sebagai upaya-upaya dalam meredakan ketegangan antar kelas; cara untuk mendapatkan jaminan subsistensi tersebut membatasi sikap berontak.
Sementara bagi pengusaha Mantigola lebih condong kepada rasionalitas substantive (berorientasi nilai) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kolektifitas “egalitarianisme” yang menitikberatkan pada ketergantungan terhadap hubungan daparanakan baik sebagai pemberi modal maupun sebagai tenaga kerja meskipun sifatnya cenderung mengikat dan merugikan dari sisi ekonomi. Sehingga dengan dasar rasionalitas tersebut, strategi bisnis sebagai dasar maksimisasi profit yang dikembangkan cenderung lebih berhati-hati, menghindari bentuk-bentuk kemitraan dengan eksportir, karena takut akan segala bentuk resiko, terikat dengan pemilik modal, dan cenderung defensive atau bertahan.
Untuk pola-pola ekspansi bisnis, para aktor kapitalis di Mola cenderung dilatarbelakangi oleh rasional instrumental dengan menitik beratkan pada rasionalitas praktis. Rasionalitas ini kemudian memacu sang aktor untuk semakin giat berekspansi. Meskipun ekspansi yang dilakukan cenderung untuk memperkuat usaha penangkapan, melalui strategi nafkah diversifikasi usaha baik di sector pelayaran, khususnya jasa angkutan laut, perbengkelan kapal, maupun usaha-usaha non perikanan seperti usaha warung kelontongan.
Sebaliknya di Mantigola, akibat semakin menguatnya rasionalitas substantif, hingga munculnya gejala rasionalitas transedental, yang diidentikkan dengan munculnya gejala “keputusasaan”, dan pemasrahan akan nasib hidup kepada Yang Maha Kuasa. Selain karena kuatnya nilai-nilai kolektifitas antara sesama orang Bajo, yang telah dibahas sebelumnya pada bab lima dalam gambaran umum konteks kesejarahan orang-orang Bajo Mantigola, bahwa penguatan nilai-nilai kolektifitas tersebut merupakan hasil adaptasi dari orang-orang mantigola terhadap kondisi sosial ketika menghadapi orang-orang Kaledupa, juga karena beragam bentuk tekanan-tekanan terhadap ruang-ruang nafkah, yakni laut sebagai sumber nafkah orang Bajo Mantigola. Maka
bentuk akumulasi kapital diarahkan bukan untuk
berekspansi seperti orang-orang Mantigola, namun segala
bentuk transfer surplus atau keuntungan diarahkan
mempertahankan basis usaha agar bisa bertahan diarus
persaingan yang harus dihadapi manakali harus
menghadapi tekanan dari taman nasional, dan serbuan
dari eksportir yang langsung bertransaksi dengan nelayan
produsen di Mantigola.
Kemudian, berdasarkan pola maksimisasi profit melalui
akusisi kapital, para aktor kapitalis Mola cenderung
melakukan bentuk-bentuk akusisi kapital, ini dilakukan
sebagai implementasi dari bentuk-bentuk rasionalitas
praktis ekonomi. Bentuk-bentuk pencaplokan dinyatakan
dalam bentuk pencaplokan hasil-hasil laut dengan
memperoleh sebanyak-banyaknya hasil tangkapan dari
nelayan, dan memiliki jumlah nelayan terikat yang relatif
banyak. Pola akusisi juga cenderung dilakukan oleh aktor
kapitalis di Mola, karena unit usaha memang bukan
sebagai pola usaha bersama seperti beberapa kejadian
pengelolaan usaha di Mantigola, akan tetapi lebih
condong pada kepemilikan individu dan perusahaan.
Kepuasan yang dirasakan oleh para aktor kapitalis jika
keuntungan diperoleh secara individual. Akusisi akan
dilakukan oleh lawan bisnis yang juga orang Bajo Mola,
jika Ia dan lawan bisnisnya tidak terkait dengan unsur
“daparanakan”nya. Karena rasionalitas nilai yang terkait
dengan daparanakan, membatasi “keserakahan” para aktor
kapitalis terhadap orang lain yang juga daparanakannya.
Mereka mengibaratkannya dengan ungkapan
“menghancurkan daparanakan, berarti menghancurkan
diri sendiri”.
Sementara bagi aktor-aktor di Mantigola, maksimisasi profit melalui akusisi cenderung jarang dilakukan, karena beberapa unit usaha, misalnya untuk usaha penangkapan ikan dengan menggunakan rompong, unit usaha merupakan skala usaha kolektif dengan berbasiskan hubungan daparanakan dan darumah. Model kerjasama kolektif ini juga sekali lagi sebagai bentuk adaptasi atas bentuk tekanan-tekanan pada ruang-ruang nafkah orang- orang Bajo Mantigola. Maka akusisi capital tidak difikirkan oleh orang-orang Mantigola, sebaliknya mereka menggunakan etika moralitas kolektifisme untuk bertahan, dan menghalangi segala bentuk pola akusisi capital.
Karena kecenderungan orang-orang Mola dalam mengimplementasikan rasionalitas instrumental ekonomi, maka bentuk ekspansi dalam bentuk jejaring bisnis cenderung lebih terbuka. Rasionalitas instrumental ekonomi praktis mengarahkan pada nilai-nilai individualisme dan komersialisme sehingga peleburan batas-batas antara sama dan bagai mulai terjadi. Peleburan batas-batas nilai sama dan bagai tersebut akan dipaparkan secara rinci telah dibahas pada bagian pemaknaan orang Bajo terhadap sesamanya.
Orang-orang Mantigola berlaku sebaliknya, bentuk ekspansi usaha lebih tertutup, karena orang-orang Mantigola “lebih nyaman” jika berhubungan bisnis dengan daparanakannya dibandingkan dengan orang lain. Tindakan afeksi ini muncul karena rasionalitas substansi nilai-nilai sama dan bagai masih tegas berlaku di Mantigola. Beberapa pengalaman pahit orang-orang
Sementara bagi aktor-aktor di Mantigola, maksimisasi profit melalui akusisi cenderung jarang dilakukan, karena beberapa unit usaha, misalnya untuk usaha penangkapan ikan dengan menggunakan rompong, unit usaha merupakan skala usaha kolektif dengan berbasiskan hubungan daparanakan dan darumah. Model kerjasama kolektif ini juga sekali lagi sebagai bentuk adaptasi atas bentuk tekanan-tekanan pada ruang-ruang nafkah orang- orang Bajo Mantigola. Maka akusisi capital tidak difikirkan oleh orang-orang Mantigola, sebaliknya mereka menggunakan etika moralitas kolektifisme untuk bertahan, dan menghalangi segala bentuk pola akusisi capital.
Karena kecenderungan orang-orang Mola dalam mengimplementasikan rasionalitas instrumental ekonomi, maka bentuk ekspansi dalam bentuk jejaring bisnis cenderung lebih terbuka. Rasionalitas instrumental ekonomi praktis mengarahkan pada nilai-nilai individualisme dan komersialisme sehingga peleburan batas-batas antara sama dan bagai mulai terjadi. Peleburan batas-batas nilai sama dan bagai tersebut akan dipaparkan secara rinci telah dibahas pada bagian pemaknaan orang Bajo terhadap sesamanya.
Orang-orang Mantigola berlaku sebaliknya, bentuk ekspansi usaha lebih tertutup, karena orang-orang Mantigola “lebih nyaman” jika berhubungan bisnis dengan daparanakannya dibandingkan dengan orang lain. Tindakan afeksi ini muncul karena rasionalitas substansi nilai-nilai sama dan bagai masih tegas berlaku di Mantigola. Beberapa pengalaman pahit orang-orang
Mantigola saat bermitra dengan orang-orang darat
Kaledupa memperkuat “ketakutan” atas kegagalan usaha
ketika bermitra di luar daparanakannya, sehingga dengan
alasan ini lah tipe jaringan bisnis bersifat tertutup.
Hubungan sosial produksi dalam kegiatan ekonomi yang dibentuk oleh para aktor kapitalis lokal di Mola dilandasi oleh rasionalitas instrumental. Dengan kepemilikan profit properti secara individual. Para aktor kapitalis mulai mempekerjakan tenaga kerja upahan, terbagi atas nelayan terikat, dan tenaga kerja non produksi, seperti tenaga kerja yang bekerja dalam hal pengolahan hasil produksi. Meskipun beberapa aktor mengungkapkan tidak lagi mempermasalahkan apakah tenaga kerja harus menggunakan orang Bajo, dan sistem perekrutan tidak ketat, namun pada kenyataannya semua tenaga kerja yang dipakai para aktor, khususnya dalam kegiatan pengolahan hasil tangkapan para aktor sepenuhnya menggunakan tenaga dari orang-orang Bajo. Para actor beralasan tidak ada orang darat yang menawarkan tenaganya kepada para pengusahaBajo.
Sementara hubungan sosial produksi bagi para aktor di Mantigola dilandasi oleh rasionalitas substantif, ada beberapa kecenderungan kepemilikan properti tidak hanya dalam bentuk pribadi atau individual tetapi dalam bentuk keluarga, penggunaan tenaga kerja lebih pada penggunaan keluarga inti. Tidak seperti di Mola, di Mantigola perekrutan tenaga kerja bersifat ketat dalam artian harus menggunakan orang-orang Bajo. Derajat hubungan eksploitasi dari hubungan produksi antara sang patron dan client dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial daparanakan, darumah. Kecenderungan aktor kapitalis menikmati nilai tukar (exchange values) sesungguhnya tidak begitu besar, dibandingkan dengan nilai pakai yang dinikmati oleh nelayan produsen.
Hubungan sosial produksi dalam kegiatan ekonomi yang dibentuk oleh para aktor kapitalis lokal di Mola dilandasi oleh rasionalitas instrumental. Dengan kepemilikan profit properti secara individual. Para aktor kapitalis mulai mempekerjakan tenaga kerja upahan, terbagi atas nelayan terikat, dan tenaga kerja non produksi, seperti tenaga kerja yang bekerja dalam hal pengolahan hasil produksi. Meskipun beberapa aktor mengungkapkan tidak lagi mempermasalahkan apakah tenaga kerja harus menggunakan orang Bajo, dan sistem perekrutan tidak ketat, namun pada kenyataannya semua tenaga kerja yang dipakai para aktor, khususnya dalam kegiatan pengolahan hasil tangkapan para aktor sepenuhnya menggunakan tenaga dari orang-orang Bajo. Para actor beralasan tidak ada orang darat yang menawarkan tenaganya kepada para pengusahaBajo.
Sementara hubungan sosial produksi bagi para aktor di Mantigola dilandasi oleh rasionalitas substantif, ada beberapa kecenderungan kepemilikan properti tidak hanya dalam bentuk pribadi atau individual tetapi dalam bentuk keluarga, penggunaan tenaga kerja lebih pada penggunaan keluarga inti. Tidak seperti di Mola, di Mantigola perekrutan tenaga kerja bersifat ketat dalam artian harus menggunakan orang-orang Bajo. Derajat hubungan eksploitasi dari hubungan produksi antara sang patron dan client dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial daparanakan, darumah. Kecenderungan aktor kapitalis menikmati nilai tukar (exchange values) sesungguhnya tidak begitu besar, dibandingkan dengan nilai pakai yang dinikmati oleh nelayan produsen.
Kemudian, untuk fenomena sosial yang terjadi pada
pengumpul kecil di Mantigola yang cenderung mandek
ekonominya, mendasarkan segala bentuk kegiatan
bisnisnya, beserta berbagai bentuk pertimbangan
bisnisnya pada rasionalitas substantive yang berisi etika
moralitas kolektivisme. Karena tindakan yang cenderung
hati-hati dan menghindari resiko usaha, maka etika
kolektivisme dijadikan alat untuk menyelamatkan diri
secara beramai-ramai, meskipun pola tersebut mengikat,
dan cenderung merugikan, namun hal tersebut rasional
bagi mereka karena mampu menyelamatkan mereka dari
jurang kehancuran.
Karakteristik Sistem Kapitalis Lokal
Pada pembahasan sebelumnya, khususnya pada bagian pembahasan sejarah munculnya aktor kapitalis lokal di Mola dan Mantigola, penggunaan teori Weber dibuktikan lebih tepat digunakan untuk menganalisa “akar” munculnya kapitalisme di suku Bajo. Kemudian, juga melalui Weber dapat dilihat bagaimana kapitalisme di Suku Bajo tumbuh dan berkembang melalui etika nilai moralitas yang berasal dari agama dan orientasi nilai budaya baik pada masyarakat Bajo Mola dan Bajo Mantigola, pada akhirnya menyebabkan tumbuhnya rasionalitas tertentu pada aktor Bajo Mola dan Bajo Mantigola. Analisa berikut ini akan membahas analisa kapitalisme lokal secara makro dengan menganalisa sistem ekonomi dengan unsur-unsur ekonomi kapitalisme seperti profit maksimisasi, pola ekspansi usaha, individualisme-profit property, dan hubungan produksi dan dihubungkan dengan orientasi nilai yang telah dibahas sebelumnya agar “warna lokal” bisa dipahami lebih mendalam pada sistem ekonomi orang-orang Bajo Mola dan Mantigola. Pada fase perkembangan kapitalisme, khususnya fase setelah otonomi daerah kabupaten Wakatobi terbentuk, maka unsur teoritisasi Marx nampaknya bisa menjelaskan sistem ekonomi kapitalisme lokal, meskipun beberapa unsur teori Weberian juga masih bisa masuk untuk mewarnai analisa secara makro terhadap sistem ekonomi kapitalis lokal ala suku Bajo.
Yang terjadi pada aktor kapitalis di Mola, dalam memperoleh profit, tidaklah seserakah apa yang telah diungkapkan oleh Marx sebelumnya. Para aktor baik di Mola maupun di Mantigola mempertimbangkan serangkaian pertimbangan kritis yang menyatakan bahwa nilai komoditas tidak hanya ditentukan nilai ekonomis yang masuk ke dalam penciptaannya, melainkan juga mempertimbangkan nilai sosial. Sistem produksi kapitalisme lokal ala Bajo ini menunjukan bahwa para pekerja baik itu nelayan Bajo yang berstatus terikat, bahkan tenaga upahan dalam proses pengolahan hasil perikanan memproduksi nilai lebih, tetapi nilai lebih itu tidak seluruhnya dinikmati oleh sang aktor kapitalis, melainkan juga keuntungan dinikmati oleh buruh, bahkan juga dinikmati oleh pengusaha lainnya yang terkait Daparanakan. Hal ini terlebih dilakukan juga oleh aktor kapitalis di Mantigola. Hasil laut misalnya juga dinikmati oleh orang-orang sekampung. Pengusaha-pengusaha di Mantigola nyaris menyisikan setengah dari keuntungannya untuk membantu sesamanya di Mantigola, khususnya yang terkait erat dengan hubungan daparanakannya.
Model pengelolaan profit dari usaha yang terjadi di Bajo memang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial yang dianut dan dipertahankan mati-matian oleh orang Bajo dalam menjaga keluhuran nilai-nilai budayanya. Pengelolaan profit yang tidak saja dinikmati oleh sang aktor saja melainkan juga sedikit banyaknya juga dinikmati oleh orang-orang Bajo lainnya, dalam bentuk bantuan social, dan perlibatan orang-orang Bajo di dalam kegiatan usahanya. Model pengelolaan keuntungan ini sangat dipengaruhi oleh pemaknaan para aktor kepada sesamanya, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya dalam bagian karakteristik aktor kapitalis yang menyangkut orientasi nilai budaya yang melekat (embedeed) terhadap nilai-nilai sama dan bagai. Teman juga diartikan oleh para aktor tidak hanya merupakan asset bisnis saja melainkan sebagai jaringan sentimental. Seungguhnya pemaknaan terhadap laut juga mempengaruhi pengelolaan profit ini, meskipun diakui bahwa nilai-nilai ini di Bajo Mola sudah mulai tergerus, namun makna “laut” sebagai sumberdaya yang dihadapi dan basis nafkah satu-satunya bagi orang Bajo menciptakan kesetiakawanan diantara sesama orang Bajo, dimana pun mereka berada.
Pada pembahasan sebelumnya, khususnya pada bagian pembahasan sejarah munculnya aktor kapitalis lokal di Mola dan Mantigola, penggunaan teori Weber dibuktikan lebih tepat digunakan untuk menganalisa “akar” munculnya kapitalisme di suku Bajo. Kemudian, juga melalui Weber dapat dilihat bagaimana kapitalisme di Suku Bajo tumbuh dan berkembang melalui etika nilai moralitas yang berasal dari agama dan orientasi nilai budaya baik pada masyarakat Bajo Mola dan Bajo Mantigola, pada akhirnya menyebabkan tumbuhnya rasionalitas tertentu pada aktor Bajo Mola dan Bajo Mantigola. Analisa berikut ini akan membahas analisa kapitalisme lokal secara makro dengan menganalisa sistem ekonomi dengan unsur-unsur ekonomi kapitalisme seperti profit maksimisasi, pola ekspansi usaha, individualisme-profit property, dan hubungan produksi dan dihubungkan dengan orientasi nilai yang telah dibahas sebelumnya agar “warna lokal” bisa dipahami lebih mendalam pada sistem ekonomi orang-orang Bajo Mola dan Mantigola. Pada fase perkembangan kapitalisme, khususnya fase setelah otonomi daerah kabupaten Wakatobi terbentuk, maka unsur teoritisasi Marx nampaknya bisa menjelaskan sistem ekonomi kapitalisme lokal, meskipun beberapa unsur teori Weberian juga masih bisa masuk untuk mewarnai analisa secara makro terhadap sistem ekonomi kapitalis lokal ala suku Bajo.
Yang terjadi pada aktor kapitalis di Mola, dalam memperoleh profit, tidaklah seserakah apa yang telah diungkapkan oleh Marx sebelumnya. Para aktor baik di Mola maupun di Mantigola mempertimbangkan serangkaian pertimbangan kritis yang menyatakan bahwa nilai komoditas tidak hanya ditentukan nilai ekonomis yang masuk ke dalam penciptaannya, melainkan juga mempertimbangkan nilai sosial. Sistem produksi kapitalisme lokal ala Bajo ini menunjukan bahwa para pekerja baik itu nelayan Bajo yang berstatus terikat, bahkan tenaga upahan dalam proses pengolahan hasil perikanan memproduksi nilai lebih, tetapi nilai lebih itu tidak seluruhnya dinikmati oleh sang aktor kapitalis, melainkan juga keuntungan dinikmati oleh buruh, bahkan juga dinikmati oleh pengusaha lainnya yang terkait Daparanakan. Hal ini terlebih dilakukan juga oleh aktor kapitalis di Mantigola. Hasil laut misalnya juga dinikmati oleh orang-orang sekampung. Pengusaha-pengusaha di Mantigola nyaris menyisikan setengah dari keuntungannya untuk membantu sesamanya di Mantigola, khususnya yang terkait erat dengan hubungan daparanakannya.
Model pengelolaan profit dari usaha yang terjadi di Bajo memang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial yang dianut dan dipertahankan mati-matian oleh orang Bajo dalam menjaga keluhuran nilai-nilai budayanya. Pengelolaan profit yang tidak saja dinikmati oleh sang aktor saja melainkan juga sedikit banyaknya juga dinikmati oleh orang-orang Bajo lainnya, dalam bentuk bantuan social, dan perlibatan orang-orang Bajo di dalam kegiatan usahanya. Model pengelolaan keuntungan ini sangat dipengaruhi oleh pemaknaan para aktor kepada sesamanya, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya dalam bagian karakteristik aktor kapitalis yang menyangkut orientasi nilai budaya yang melekat (embedeed) terhadap nilai-nilai sama dan bagai. Teman juga diartikan oleh para aktor tidak hanya merupakan asset bisnis saja melainkan sebagai jaringan sentimental. Seungguhnya pemaknaan terhadap laut juga mempengaruhi pengelolaan profit ini, meskipun diakui bahwa nilai-nilai ini di Bajo Mola sudah mulai tergerus, namun makna “laut” sebagai sumberdaya yang dihadapi dan basis nafkah satu-satunya bagi orang Bajo menciptakan kesetiakawanan diantara sesama orang Bajo, dimana pun mereka berada.
Profit maksimisasi juga tidak akan sangat besar
jumlahnya dinikmati oleh aktor kapitalis. Selain yang
telah disebutkan di atas, fakta lain menunjukkan bahwa
para aktor kapitalis di Mola tetap menggunakan nelayan
produsen Bajo yang sifatnya mengikat. Padahal, dari
beberapa pengakuan pengusaha di Mola, menggunakan
nelayan terikat malah cenderung merugikan para
pengusaha. Namun, itu tetap dilakukannya karena
kewajiban sosial terhadap orang-orang Bajo yang tak
berpunya, yakni nelayan-nelayan kecil. Biaya yang
dikeluarkan oleh pengusaha bisa mencapai dua kali lipat
disbanding dengan menggunakan nelayan darat yang
mandiri. Meskipun, bisa juga kita mencurigai bahwa yang
diungkapkan oleh aktor, seperti kata Marx bahwa
pembenaran yang dilakukan oleh kapitalis sesungguhnya
semata-mata untuk membela dirinya atas eksploitasi yang
dilakukannya, karena penggunaan nelayan-nelayan yang
sifatnya terikat dari suku Bajo sendiri, memang sangat
diperlukan oleh actor untuk menjamin ketersediaan
komoditas yang akan diperjualbelikan di pasar
internasional.
Pada bagian pembahasan mengenai karakteristik aktor kapitalis lokal khususnya yang membahas mengenai rasionalitas, menunjukkan bahwa nilai-nilai ekonomi materialisme memang sudah menggerus ranah pemikiran ekonomi, dalam hal perhitungan untung dan rugi. Namun, nilai-nilai sosial kolektivisme tetap “bercokol” pada ranah pemaknaan, sehingga konflik rasionalitas terjadi. Konflik rasionalitas ini membuktikan bahwa nilai-nilai sosial kolektifisme yang menjadi landasan hidup orang-orang Bajo, mampu mencegah terjadinya “keserakahan” yang berlebihan dari para pengusaha di Mola, tidak seperti yang diteorikan oleh Marx mengenai kaum borjuis yang selalu haus akan keuntungan.
Terkait dengan ekspansi ekonomi, menurut Marx dalam Magnis-Suseno, 2005 ciri khas dari ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum : hukum tawar-menawar di pasar. Sehingga kapitalisme adalah ekonomi yang bebas: bebas dari berbagai pembatasan oleh raja dan penguasa lain (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar manapun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya), bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan dimana pun, ia tidak terikat pada desa atau tempat kerjanya). Yang menentukan semata-mata keuntungan yang lebih besar.
Sistem ekonomi kapitalis dibedakan oleh kepentingan utama dari produksi kapital. Produksi capital dalam
Pada bagian pembahasan mengenai karakteristik aktor kapitalis lokal khususnya yang membahas mengenai rasionalitas, menunjukkan bahwa nilai-nilai ekonomi materialisme memang sudah menggerus ranah pemikiran ekonomi, dalam hal perhitungan untung dan rugi. Namun, nilai-nilai sosial kolektivisme tetap “bercokol” pada ranah pemaknaan, sehingga konflik rasionalitas terjadi. Konflik rasionalitas ini membuktikan bahwa nilai-nilai sosial kolektifisme yang menjadi landasan hidup orang-orang Bajo, mampu mencegah terjadinya “keserakahan” yang berlebihan dari para pengusaha di Mola, tidak seperti yang diteorikan oleh Marx mengenai kaum borjuis yang selalu haus akan keuntungan.
Terkait dengan ekspansi ekonomi, menurut Marx dalam Magnis-Suseno, 2005 ciri khas dari ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum : hukum tawar-menawar di pasar. Sehingga kapitalisme adalah ekonomi yang bebas: bebas dari berbagai pembatasan oleh raja dan penguasa lain (orang boleh membeli dan menjual barang di pasar manapun), bebas dari pembatasan-pembatasan produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya), bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan dimana pun, ia tidak terikat pada desa atau tempat kerjanya). Yang menentukan semata-mata keuntungan yang lebih besar.
Sistem ekonomi kapitalis dibedakan oleh kepentingan utama dari produksi kapital. Produksi capital dalam
bentuk uang kemudian diinvestasikan di dalam komoditas
(artikulasi cara produksi dan kekuatan tenaga kerja) yang
memiliki nilai lebih. Keuntunganan yang diperoleh aktor
kemudian diinvestasikan kembali, seperti apa yang
diungkapkan Marx sebagai expanded reproduction of
capital.
Weber sebaliknya, bahwa dibalik kapitalisme bukan saja didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, melainkan juga karena etika moralitas yang mendorong timbulnya rasionalitas tertentu dalam berusaha. Deterministik ekonomi ala Marx menurut Weber belumlah cukup untuk menggambarkan sistem ekonomi kapitalistik. Sebab jauh dari kepentingan ekonomi semata-mata, ada suatu nilai-nilai yang secara filosofis mendorong dan mewarnai bentuk-bentuk kapitalisme yang berkembang dalam suatu sistem social terntentu.
Jika melihat fenomena para aktor kapitalis Bajo di Mola, apa yang diteorikan Marx juga tidak sepenuhnya bisa menggambarkan sistem kapitalisme lokal di Mola. Kenyataannya, jika dibandingkan dengan ekspansi usaha yang dilakukan oleh orang-orang Mantigola. Para aktor kapitalis di Mola memang cenderung lebih terbuka terhadap bentuk peluang usaha, sejauh itu bisa memberikan peluang keuntungan akan mereka lakukan. Namun, tidak bisa semua peluang ekonomi yang datang kemudian serta-merta mereka terima. Usaha utama yang akan mereka kembangkan haruslah berbasis sumberdaya laut. Pemaknaan terhadap laut (worldview) dan nilai-nilai sama dan bagai menjadi “filter” pemilihan sektor usaha yang dikembangkan. Karena bagi orang-orang Bajo satu- satunya lahan nafkah yang terlegitimasi untuk mereka adalah lautan, dan orang darat (bagai) berkuasa di daratan. Maka jangan berharap orang Bajo akan menjual barang-barang bekas pakai selundupan (RB) di pasar seperti orang Mandati, atau membuka lahan tambak didaratan seperti orang-orang Bugis di Delta Mahakam.
Di Mantigola lebih ekstrim lagi-karena transisi belum pada ekonomi kapitalisme-ekspansi usaha jauh lebih tertutup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada bagian sejarah perkembangan kapitalisme, dan pembahasan orientasi nilai budaya, maka kecenderungan ekspansi yang tertutup karena hakikat hidup orang-orang Bajo memandang kerja dan usaha sebagai sesuatu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan penghindaran resiko usaha. Kemudian, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tekanan struktural baik dari taman nasional yang membatasi ruang gerak masyarakat Mantigola dalam mencari nafkah, dan keterikatan dan ketergantungan yang tinggi kepada orang- orang Mola membuat pola ekspansi kapital lebih terbatas dan tertutup. Makna hubungan dengan sesama yang terkait dengan kekuasaan darat dan laut melalui nilai-nilai sama dan bagai yang sangat tegas juga menyebabkan tidak pernah sedikit pun mereka ingin berekspansi ke darat.
Kemudian, Membicarakan ranah individualisme berarti membahas mengenai bagaimana modal dikuasai sebagai basis dari keuntungan (profit property). Menurut Marx, kepemilikan profit property sesungguhnya juga menunjukkan
Weber sebaliknya, bahwa dibalik kapitalisme bukan saja didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, melainkan juga karena etika moralitas yang mendorong timbulnya rasionalitas tertentu dalam berusaha. Deterministik ekonomi ala Marx menurut Weber belumlah cukup untuk menggambarkan sistem ekonomi kapitalistik. Sebab jauh dari kepentingan ekonomi semata-mata, ada suatu nilai-nilai yang secara filosofis mendorong dan mewarnai bentuk-bentuk kapitalisme yang berkembang dalam suatu sistem social terntentu.
Jika melihat fenomena para aktor kapitalis Bajo di Mola, apa yang diteorikan Marx juga tidak sepenuhnya bisa menggambarkan sistem kapitalisme lokal di Mola. Kenyataannya, jika dibandingkan dengan ekspansi usaha yang dilakukan oleh orang-orang Mantigola. Para aktor kapitalis di Mola memang cenderung lebih terbuka terhadap bentuk peluang usaha, sejauh itu bisa memberikan peluang keuntungan akan mereka lakukan. Namun, tidak bisa semua peluang ekonomi yang datang kemudian serta-merta mereka terima. Usaha utama yang akan mereka kembangkan haruslah berbasis sumberdaya laut. Pemaknaan terhadap laut (worldview) dan nilai-nilai sama dan bagai menjadi “filter” pemilihan sektor usaha yang dikembangkan. Karena bagi orang-orang Bajo satu- satunya lahan nafkah yang terlegitimasi untuk mereka adalah lautan, dan orang darat (bagai) berkuasa di daratan. Maka jangan berharap orang Bajo akan menjual barang-barang bekas pakai selundupan (RB) di pasar seperti orang Mandati, atau membuka lahan tambak didaratan seperti orang-orang Bugis di Delta Mahakam.
Di Mantigola lebih ekstrim lagi-karena transisi belum pada ekonomi kapitalisme-ekspansi usaha jauh lebih tertutup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada bagian sejarah perkembangan kapitalisme, dan pembahasan orientasi nilai budaya, maka kecenderungan ekspansi yang tertutup karena hakikat hidup orang-orang Bajo memandang kerja dan usaha sebagai sesuatu yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan penghindaran resiko usaha. Kemudian, seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tekanan struktural baik dari taman nasional yang membatasi ruang gerak masyarakat Mantigola dalam mencari nafkah, dan keterikatan dan ketergantungan yang tinggi kepada orang- orang Mola membuat pola ekspansi kapital lebih terbatas dan tertutup. Makna hubungan dengan sesama yang terkait dengan kekuasaan darat dan laut melalui nilai-nilai sama dan bagai yang sangat tegas juga menyebabkan tidak pernah sedikit pun mereka ingin berekspansi ke darat.
Kemudian, Membicarakan ranah individualisme berarti membahas mengenai bagaimana modal dikuasai sebagai basis dari keuntungan (profit property). Menurut Marx, kepemilikan profit property sesungguhnya juga menunjukkan
Sementara menurut Boeke menunjukkan bahwa bentuk
sistem ekonomi baik kapitalis maupun pra kapitalis erat
kaitannya dengan motivasi spiritual (nilai-nilai). Sehingga
dalam membahas mengenai ranah hak milik pribadi yang
digunakan untuk berekonomi oleh orang-orang Bajo
berarti terkait dengan makna dari hakekat kerja dan karya.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya mengenai hakekat
karya dan kerja pada bagian orientasi nilai para aktor
kapitalis lokal. Bagi para aktor kapitalis di Mola, hak
milik merupakan suatu kewajaran dalam hal berekonomi.
Karya dan kerja dimaknai sebagai ragam upaya bukan
saja sebagai nafkah hidup, namun sebagai cara untuk
mendapatkan kedudukan, dan kehormatan di masyarakat.
Maka, kepemilikan kekuatan produksi baik dalam bentuk
alat tangkap, penggunaan tenaga kerja upahan, dan unit
usaha dengan skala individu maupun berbadan hukum
(Commanditaire V ennootschap) merupakan suatu
keharusan sebagai bentuk pentingnya akumulasi dari
produksi komoditi. Alat produksi utama para aktor adalah
modal uang yang digunakan untuk membiayai kegiatan
operasional bagi nelayan terikat, dan pengolahan hasil
hingga sampai di tangan eksportir.
Perubahan moda produksi yang dialami oleh para pengusaha di Mola yang memang telah dimulai sejak tahun 1980-an. Namun, perubahan yang sangat menyolok terjadi semenjak otonomi daerah kabupaten Wakatobi. fase otonomi daerah memberikan “hentakan” perubahan bagi orang-orang Mola. Beberapa pihak mengungkapkan bahwa fase otonomi daerah menjadi masa kemakmuran bagi orang-orang Bajo Mola, setelah masa keemasan Mola dan Mantigola yang telah surut, khususnya saat penyu masih legal untuk diperdagangkan. Fase otonomi daerah menyebabkan terbukanya informasi pasar hasil- hasil laut di Wakatobi. Pada fase otonomi daerah inilah orang-orang Bajo mengenal usaha tuna skala ekspor, beserta teknologi meloing. Kemudian, pada fase otonomi daerah juga merupakan kali pertama orang-orang Bajo mengenal usaha ikan kerapu hidup, beserta teknologi baru di dalam pengelolaan ikan kerapu. Sebelum ikan kerapu hidup diperkenalkan dan diperdagangkan, ikan kerapu hanya dijual dalam keadaan mati dan pengolahan lebih lanjut hanya dalam bentuk ikan kerapu yang diasinkan. Setelah perdagangan ikan kerapu hidup diperkenalkan, mulailah orang-orang Bajo berinovasi dengan menggabungkan metode penangkapan dengan cara memancing, melalui teknik-teknik tertentu agar tidak terjadi kematian ikan kerapu. Otonomi daerah menciptakan begitu dekatnya para aktor kapitalis lokal Bajo di Mola dengan pasar global, yang mementingkan standarisasi, dan mempercepat proses alami secepatnya, dengan eksploitasi sumberdaya yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Menurut para aktor kapitalis lokal di Mola, semenjak terbentuknya kabupaten Wakatobi, para bos-bos di Surabaya, dan eksportir di Bali banyak yang langsung datang ke Mola, jadi sistemnya
Perubahan moda produksi yang dialami oleh para pengusaha di Mola yang memang telah dimulai sejak tahun 1980-an. Namun, perubahan yang sangat menyolok terjadi semenjak otonomi daerah kabupaten Wakatobi. fase otonomi daerah memberikan “hentakan” perubahan bagi orang-orang Mola. Beberapa pihak mengungkapkan bahwa fase otonomi daerah menjadi masa kemakmuran bagi orang-orang Bajo Mola, setelah masa keemasan Mola dan Mantigola yang telah surut, khususnya saat penyu masih legal untuk diperdagangkan. Fase otonomi daerah menyebabkan terbukanya informasi pasar hasil- hasil laut di Wakatobi. Pada fase otonomi daerah inilah orang-orang Bajo mengenal usaha tuna skala ekspor, beserta teknologi meloing. Kemudian, pada fase otonomi daerah juga merupakan kali pertama orang-orang Bajo mengenal usaha ikan kerapu hidup, beserta teknologi baru di dalam pengelolaan ikan kerapu. Sebelum ikan kerapu hidup diperkenalkan dan diperdagangkan, ikan kerapu hanya dijual dalam keadaan mati dan pengolahan lebih lanjut hanya dalam bentuk ikan kerapu yang diasinkan. Setelah perdagangan ikan kerapu hidup diperkenalkan, mulailah orang-orang Bajo berinovasi dengan menggabungkan metode penangkapan dengan cara memancing, melalui teknik-teknik tertentu agar tidak terjadi kematian ikan kerapu. Otonomi daerah menciptakan begitu dekatnya para aktor kapitalis lokal Bajo di Mola dengan pasar global, yang mementingkan standarisasi, dan mempercepat proses alami secepatnya, dengan eksploitasi sumberdaya yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Menurut para aktor kapitalis lokal di Mola, semenjak terbentuknya kabupaten Wakatobi, para bos-bos di Surabaya, dan eksportir di Bali banyak yang langsung datang ke Mola, jadi sistemnya
“jemput Bola”. Tidak hanya eksportir dalam negeri, para
eksportir dari Jepang dan Korea juga langsung
bertransaksi ke Mola.
Bagi orang Bajo Mola, perebutan atau akusisi usaha wajar-wajar saja dilakukan, jika itu tidak ada kaitannya dengan hubungan “daparanakannya”. Perebutan dan “mematikan usaha” pihak-pihak tertentu akan dilakukan jika mengganggu eksistensi usaha, sekali lagi jika sang kompetitor tidak ada hubungannya daparanakan dengannya. Dapparanakan adalah kelembagaan penopang (supporting institution) bagi keberhasilan usaha, khususnya usaha tuna di Mola. Menurut Zacot (2008), dapparanakan adalah sebuah keluarga dalam arti “orang yang tinggal dalam satu rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka, dapparanakan juga menunjuk pada ruang geografis. Kekompakan daparanakan juga dibuktikan dalam menghadapi saingan bisnis mereka. Persaingan antara usaha orang-orang Bajo Mola yang paling menonjol adalah persaingan antara pengusaha ikan kerapu hidup. Setelah ditelisik lebih dalam persaingan tersebut memang terjadi di luar garis hubungan daparanakannya.
Namun, bagi para aktor kapitalis di Mantigola, yang nampak bukannya individualisme, melainkan kolektifisme usaha. Orang-orang Mantigola memang cenderung memaknai usaha sebagai upaya untuk bertahan hidup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa masyarakat Mantigola pada khususnya, mengalami tekanan-tekanan struktural yang mulai menekan ruang- ruang nafkah. Laut yang dimaknai oleh orang Bajo Mantigola sebagai ranah nafkah dan kekuasaan bagi orang Bajo sepenuhnya, setelah terbentuknya taman nasional, dan otonomi kabupaten Wakatobi, kekuasaan tersebut semakin memudar. Sistem zonasi taman nasional yang dimaknai oleh orang-orang Bajo Mantigola sebagai ketidakpedulian pemerintah terhadap keberlanjutan hidup orang-orang Bajo. Misalnya saja, dampak zonasi taman nasional di Mantigola, usaha pengumpul ikan kerapu hidup berada di jurang kehancuran. Ini dicirikan dengan penciutan skala usaha. Beberapa pengumpul besar yang sudah “jatuh bangun” nampaknya harus berhenti sementara terkait dengan kerugian yang mereka alami secara beruntun. Pada beberapa kasus, hak milik pribadi para aktor kapitalis lokal di Mantigola kemudian tidak menjadi atomisasi, melainkan melebur menjadi satu, karena sulitnya mereka memiliki modal usaha.
Menurut Marx dalam Magnis-Suseno (2005), hubungan- hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Untuk hubungan-hubungan produksi Marx juga memakai istilah lalu lintas. Yang dimaksud bukan hubungan antara antara orang yang kebetulan bekerja berdampingan, melainkan struktur pengorganisasian social produksi. Misalnya pemilik modal dan pekerja.
Bagi orang Bajo Mola, perebutan atau akusisi usaha wajar-wajar saja dilakukan, jika itu tidak ada kaitannya dengan hubungan “daparanakannya”. Perebutan dan “mematikan usaha” pihak-pihak tertentu akan dilakukan jika mengganggu eksistensi usaha, sekali lagi jika sang kompetitor tidak ada hubungannya daparanakan dengannya. Dapparanakan adalah kelembagaan penopang (supporting institution) bagi keberhasilan usaha, khususnya usaha tuna di Mola. Menurut Zacot (2008), dapparanakan adalah sebuah keluarga dalam arti “orang yang tinggal dalam satu rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka, dapparanakan juga menunjuk pada ruang geografis. Kekompakan daparanakan juga dibuktikan dalam menghadapi saingan bisnis mereka. Persaingan antara usaha orang-orang Bajo Mola yang paling menonjol adalah persaingan antara pengusaha ikan kerapu hidup. Setelah ditelisik lebih dalam persaingan tersebut memang terjadi di luar garis hubungan daparanakannya.
Namun, bagi para aktor kapitalis di Mantigola, yang nampak bukannya individualisme, melainkan kolektifisme usaha. Orang-orang Mantigola memang cenderung memaknai usaha sebagai upaya untuk bertahan hidup. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa masyarakat Mantigola pada khususnya, mengalami tekanan-tekanan struktural yang mulai menekan ruang- ruang nafkah. Laut yang dimaknai oleh orang Bajo Mantigola sebagai ranah nafkah dan kekuasaan bagi orang Bajo sepenuhnya, setelah terbentuknya taman nasional, dan otonomi kabupaten Wakatobi, kekuasaan tersebut semakin memudar. Sistem zonasi taman nasional yang dimaknai oleh orang-orang Bajo Mantigola sebagai ketidakpedulian pemerintah terhadap keberlanjutan hidup orang-orang Bajo. Misalnya saja, dampak zonasi taman nasional di Mantigola, usaha pengumpul ikan kerapu hidup berada di jurang kehancuran. Ini dicirikan dengan penciutan skala usaha. Beberapa pengumpul besar yang sudah “jatuh bangun” nampaknya harus berhenti sementara terkait dengan kerugian yang mereka alami secara beruntun. Pada beberapa kasus, hak milik pribadi para aktor kapitalis lokal di Mantigola kemudian tidak menjadi atomisasi, melainkan melebur menjadi satu, karena sulitnya mereka memiliki modal usaha.
Menurut Marx dalam Magnis-Suseno (2005), hubungan- hubungan produksi adalah hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam proses produksi. Untuk hubungan-hubungan produksi Marx juga memakai istilah lalu lintas. Yang dimaksud bukan hubungan antara antara orang yang kebetulan bekerja berdampingan, melainkan struktur pengorganisasian social produksi. Misalnya pemilik modal dan pekerja.
Hubungan sosial produksi erat hubungannya dengan
mekanisme surplus value transfer, antara pemilik modal
dengan para pekerja. Menurut Marx surplus value transfer
diperoleh melalui mekanisme eksploitasi para kapitalis
terhadap buruh. Namun, pada kasus Mola, maupun
Mantigola eksploitasi terjadi namun keuntungan
dinikmati namun juga dibagi sebagai bentuk tanggung
jawabnya sebagai orang Bajo (sama) terhadap sesamanya
yang adalah orang-orang Bajo. Beberapa pengusaha
pengaburan, namun nilai-nilai kewajiban untuk menjaga
inklusifitas kelompok Bajo dan kewajiban orang berpunya
untuk membantu kehidupan saudaranya yang jatuh pada
batas subsistensinya tetap dipegang oleh orang-orang
Mola. Di Mantigola lebih ekstrim lagi, surplus transfer
dinikmati bersama, baik oleh daparanakannya, maupun
darumah sebagai tenaga kerja utama usaha. Malah yang
terjadi ketika panen tiba, dambarisan
sebagai simbol unit
sosial juga menikmati. Nilai-nilai kapunuang, kutukan mengutarakan bahwa sedapat mungkin meringankan
nelayan.
Seperti yang telah diutarakan sebelumnya, nilai-nilai
moralitas masih “melekat” di benak sang aktor, sehingga
surplus transfer yang dinikmati tidak begitu besar. Aktor
tidak seegois yang diungkapkan Marx. Para aktor juga
masih memikirkan kondisi nelayan terikatnya, dan tenaga
kerja dalam pengolahan hasil-hasil laut. Upah nelayan
terikat misalnya tidak ditentukan berdasarkan
pertimbangan ekonomis, melainkan secara sosial. Para
aktor kapitalis di Mola maupun di Mantigola tidak
menjalankan sistem upah terikat untuk nelayan dengan
sangat ketat. Bentuk pinjaman modal yang sifatnya terikat
oleh orang-orang Mola kepada orang-orang Mantigola
yang dipandang sebagai bentuk ketergantungan yang
menghambat perkembangan saudaranya di Mantigola
dengan bunga rendah, dan pengembalian yang tanpa
waktu jatuh tempo. Jejaring patronase digunakan aktor di
Mola maupun Mantigola terhadap nelayan untuk
menjamin kelangsungan perkembangan usahanya dan
kelangsungan hidup sang client di Mantigola. Meskipun
disadarinya, dengan menggunakan sistem terikat mereka
akan jauh lebih “repot” karena harus menyediakan dana
operasional kepada nelayan buruh, maupun kelompok
nelayan.
Semua bentuk akumulasi surplus transfer ini, merupakan implementasi atas pemaknaan para aktor kapitalis dalam memaknai saudara Bajonya. Nilai-nilai sama dan bagai, meskipun memang secara faktual mulai mengalami
Semua bentuk akumulasi surplus transfer ini, merupakan implementasi atas pemaknaan para aktor kapitalis dalam memaknai saudara Bajonya. Nilai-nilai sama dan bagai, meskipun memang secara faktual mulai mengalami
jika tidak memberi seperti yang diungkapkan sebelumnya,
sangat dijunjung tinggi. Tekanan pada ruang nafkah juga
mempertegas makna sama dan bagai, sehingga
inklusifitas kelompok semakin tinggi. Bajo Mantigola pun
mengklaim bahwa inilah senjata terakhir mereka, yakni
mengandalkan inklusifitasnya untuk bertahan dari
tekanan-tekanan kehidupan yang mendera ruang-ruang
nafkah mereka.
Ilustrasi singkat perbandingan kapitalisme lokal suku
Bajo Mola dan Mantigola dilukiskan pada gambar berikut
ini :
Dari ilustrasi di atas,disimpulkan bahwa kapitalisme lokal
yang terjadi di masyarakat Bajo Mola merupakan
gambaran kapitalisme hibridisasi, dimana tidak
sepenuhnya orang-orang Mola menjadi kapitalisme
penuh, yang menurut Marx akan menjadi “penghisap
darah” kaum proletar. Terlepas dari kenyataan di satu sisi
bahwa nilai-nilai tersebut dipertahankan agar profit tetap
bisa mengalir kepada para aktor kapitalis, namun inilah
gambaran mengenai kapitalisme khas lokal Bajo.
Penutup
Pada akhirnya kita menyimpulkan bahwa gambaran mengenai perbedaan orientasi perkembangan kapitalisme lokal, baik pada Bajo Mola yang progresif dalam perkembangan kapitalismenya, dan Mantigola cenderung lebih lambat menjustifikasi bahwa orang-orang Bajo melalui beragam tahap yang berbeda dalam menuju bentuk ekonomi kapitalisme yang digambarkan melalui enam dimensi kapitalisme lokal yang telah digambarkan secara rinci dalam tulisan ini antara lain : (1) profit maksimisasi ; (2) pola ekspansi ekonomi ; (3) individualisme-profit propertu ; (4) Hubungan sosial produksi. Pemaknaan menunjukkan cirri-ciri lokal yang melekat pada bentuk ekonomi baik di Mola maupun Mantigola, yang bukan berarti menyebabkan kegagalan dalam berekonomi ekspansif, namun memberikan warna tersendiri terhadap kapitalisme yang terbentuk pada orang Bajo Mola dan Mantigola dalam bentuk gambaran rasionalitasnya. Ciri lokal, dan kaitannya dengan konteks sosial (sphere of life) juga tidak bisa ditinggalkan sebagai faktor penting pembentuk kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo. Semua temuan ini sekaligus juga membuktikan bahwa teori Boeke tentang simbol kelambanan lekat pada ekonomi pribumi tidak sepenuhnya benar bahwa ekonomi moneter dan
Pada akhirnya kita menyimpulkan bahwa gambaran mengenai perbedaan orientasi perkembangan kapitalisme lokal, baik pada Bajo Mola yang progresif dalam perkembangan kapitalismenya, dan Mantigola cenderung lebih lambat menjustifikasi bahwa orang-orang Bajo melalui beragam tahap yang berbeda dalam menuju bentuk ekonomi kapitalisme yang digambarkan melalui enam dimensi kapitalisme lokal yang telah digambarkan secara rinci dalam tulisan ini antara lain : (1) profit maksimisasi ; (2) pola ekspansi ekonomi ; (3) individualisme-profit propertu ; (4) Hubungan sosial produksi. Pemaknaan menunjukkan cirri-ciri lokal yang melekat pada bentuk ekonomi baik di Mola maupun Mantigola, yang bukan berarti menyebabkan kegagalan dalam berekonomi ekspansif, namun memberikan warna tersendiri terhadap kapitalisme yang terbentuk pada orang Bajo Mola dan Mantigola dalam bentuk gambaran rasionalitasnya. Ciri lokal, dan kaitannya dengan konteks sosial (sphere of life) juga tidak bisa ditinggalkan sebagai faktor penting pembentuk kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo. Semua temuan ini sekaligus juga membuktikan bahwa teori Boeke tentang simbol kelambanan lekat pada ekonomi pribumi tidak sepenuhnya benar bahwa ekonomi moneter dan
kapitalisasi yang secara teori semestinya
mentransformasikan pedesaan menuju ekonomi modern
ternyata memberikan suatu gambaran perkembangan yang
berbeda, yakni di satu sisi progresif, dan di satu sisi
mengalami kemandekan ekonomi pribumi.
Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui
etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat Bajo
Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang dianut
oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang
sangat individualisme. Maka dengan melihat ranah
sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan
sejarah munculnya kapitalisme di aras individu.
Sementara bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-
orang Mola bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah
seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih
bercokolnya nilai-nilai tertentu yang mengatur kehidupan
berekonomi ala suku Bajo.
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka model ekonomi
lokal khas suku Bajo dapat digunakan sebagai model
pemberdayaan masyarakat suku Bajo. Warna lokal yang
khas sesungguhnya menjadi modal dalam keberlanjutan
usaha orang-orang Bajo. Misalnya mekanisme profit
maksimisasi, ekspansi usaha, dan akumulasi kapital yang
sangat diwarnai dengan nilai-nilai khas lokal sehingga
membentuk transfer keuntungan tidak dinikmati oleh satu
pihak selayaknya kapitalis penuh, namun keuntungan
dipertahankan untuk membantu sesama orang-orang Bajo,
khususnya yang terkait dengan nilai-nilai daparanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanto, Herpin. 2010. Wajah Baru Suku Bajo Wakatobi
(Harian Kompas 29 Juni 2010)
Dharmawan, A.H. 2001. Farm Houshold Livelihood
Strategies and Socio-economic Changes in Rural
Indonesia. Wissenschaftverlag Vauk. Kiel.
______________. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah
Pedesaan : Pandangan Sosiologi Nafkah
(Livelihood Sociology) Mahzab barat dan Mahzab
Bogor. Jurnal Sodality Vol. 01 No. 02, agustus
2007. Hal 169-192.
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Alihbahasa S. Supomo). Jakarta : Bharata karya Aksara.
Hefner, Robert W. Geger Tengger, Perubahan Sosial, dan Perkelahian Politik (Pengantar Martinvan Bruinssen). Yogyakarta : LKiS.
Kalberg, Stephen. 1980. Max Weber’s Type of Rationality : Cornerstones for the Anaysis of Rationalization Processes in History. American Journal of Sociology (AJS) Volume 85 No. 5.
Li, Tania Murray. 2002. Proses Transformasi daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Magnis-Suseno, Frans. 2005. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia.
Nurjannah, Siti. 2003. Perubahan Pola Produksi dan Gejala Pembentukan Kelas Pedagang dalam Masyarakat Pengrajin (Studi Kasus pengembangan Industri Gerabah di desa Banyumulek, Lombok Barat, NTB). Tesis Master SPS-IPB. Bogor.
Pallesen, A.K. 1985. Culture Contact and Convergence. Linguistic Society of The Philippines, Manila.
Peribadi. 2000. Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat bajo, Sebuah Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. PPS IPB, Bogor
Scott, James C. 1976. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES.
Stacey, Natasha. 1999. Boats to Burn : Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing Zone. Northern Territory University Australia.
Suyuti, Nasruddin, dkk. 1995. Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka. Laporan penelitian : Kerjasama FISIP Universitas Haluoleo dengan Kanwil Depsos Propinsi Sulawesi Tenggara.
___________________. 2004. Bajo dan Bukan Bajo, Studi tentang Perubahan Makna Sama dan Bagai pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara. Disertasi PPS UNAIR, Surabaya.
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada.
Weber, Marx. 1946. From Marx Weber : Essays in Sociology. Oxford University.
Zacot, Francois. 2002. Orang Bajo Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog.
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (Alihbahasa S. Supomo). Jakarta : Bharata karya Aksara.
Hefner, Robert W. Geger Tengger, Perubahan Sosial, dan Perkelahian Politik (Pengantar Martinvan Bruinssen). Yogyakarta : LKiS.
Kalberg, Stephen. 1980. Max Weber’s Type of Rationality : Cornerstones for the Anaysis of Rationalization Processes in History. American Journal of Sociology (AJS) Volume 85 No. 5.
Li, Tania Murray. 2002. Proses Transformasi daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Magnis-Suseno, Frans. 2005. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia.
Nurjannah, Siti. 2003. Perubahan Pola Produksi dan Gejala Pembentukan Kelas Pedagang dalam Masyarakat Pengrajin (Studi Kasus pengembangan Industri Gerabah di desa Banyumulek, Lombok Barat, NTB). Tesis Master SPS-IPB. Bogor.
Pallesen, A.K. 1985. Culture Contact and Convergence. Linguistic Society of The Philippines, Manila.
Peribadi. 2000. Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat bajo, Sebuah Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara. Tesis. PPS IPB, Bogor
Scott, James C. 1976. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES.
Stacey, Natasha. 1999. Boats to Burn : Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing Zone. Northern Territory University Australia.
Suyuti, Nasruddin, dkk. 1995. Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka. Laporan penelitian : Kerjasama FISIP Universitas Haluoleo dengan Kanwil Depsos Propinsi Sulawesi Tenggara.
___________________. 2004. Bajo dan Bukan Bajo, Studi tentang Perubahan Makna Sama dan Bagai pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara. Disertasi PPS UNAIR, Surabaya.
Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada.
Weber, Marx. 1946. From Marx Weber : Essays in Sociology. Oxford University.
Zacot, Francois. 2002. Orang Bajo Suku Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog.
Maisonnevue & Larose, Paris. Penerjemah. Jakarta
: Fida Muljono-Larue & Ida Budi Pranoto.
Terjemahan dari : Peuple nomade de la mer: Les
Badjos d’Indone’sie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar